Re-meet

Dia nyaris tidak berbeda dari Abisara yang kukenal sejak enam belas tahun yang lalu. Sepuluh tahun berpisah dan tidak saling bertemu, tidak membuatku pangling padanya. Pada Abisara Vandino. Sosok laki laki mungil yang kali terakhir aku temui sepuluh tahun yang lalu ini masih tetap terlihat mungil. Hanya style-nya yang sdh terkemas dalam gaya khas seorang pria. Kaos berwarna gelap, jam tangan bulat Swiss Army dan putung rokok berasap di tangan kanannya.

Sepuluh tahun lalu kamu mengayuh sepeda bersama teman-teman sekelas yang lain, dan sekarang aku menemui untuk pertama kali setelah bertahun-tahun di.....bengkel mobil? We’ve been grown up, haven’t we? Pikirku.

“Helena?” Tanyanya ragu. Helena? Hanya teman-teman lama yang masih memanggilku dengan nama itu, selebihnya teman-temanku kini lebih sering memanggilku El, dari kata Elen, lebih singkat lagi “L”. Cukup dengan satu huruf untuk memanggilku.

“Iya.” Jawabku singkat.

“Rethanior Helena, apa kabar?” Dia menjabat jemariku. Untuk jawabanku yang amat singkat, dan agak judes, pertanyaannya termasuk dategori ramah dan tidak membalas kejudesanku.

“Baik. Jangan lupa tanggal dua puluh ya, nih undangannya.” Masih ketus, tanganku memberikan selembar kertas seperenam kuarto bertema Reunion Invitation pada pria bertopi merah-biru-putih di depanku.

“Oke, duitnya aku transfer aja yah?”

“Bisa, ntar aku sms nomor rekeningnya.” 


Re-meet kami kali itu cukup singkat. Sebuah re-meet yang mengingatkanku pada banyak hal sepuluh tahun lalu.

... ... ... ... ... ...

“Pertama kali aku anterin kamu pulang, rasanya rumahmu ini jauh setengah mati.” Masih dengan topi merah-biru-putihnya dia bicara dan berdecak-decak. “Udah jauh, gelap pula. Kalo aku jadi Bupatinya, aku bakal pasang lampu jalan tiap lima meter di daerah sini.”

“Kamu ini ngeluh aja, ya memang sih akses menuju rumahku selalu punya kesan horor ya? Tapi toh nyatanya kamu yang paling rajin anter-jemput aku kan?” Jawabku meliriknya.

“Iya ya? Hehehe. Aku jadi mulai biasa nih lewat jalan ini.” Ujarnya sambil tetap mengemudi. Abi yang kukenal sebagai sosok laki laki imut bercelana merah pendek yang ingusan, kini lihai mengemudikan kaleng besar berlabel mobil. Betapa sepuluh tahun merubah segalanya, kecuali posturnya yang tetap mungil. Seingatku, dulu aku tidak pernah sedekat ini dengan Abi. Dan reuni ini memaksaku untuk mengenalnya lebih dari sepuluh tahun kemarin.

You know what, sekarang aku ngerti  kenapa temen-temen pada suka ngadu ke kamu, nyerahin segala macem kerjaan ke kamu, atau godain kamu.” Katanya tetap menatap pada aspal gelap di luar sana.

“Oh ya? Memang kenapa menurutmu?”

“Karna kamu yang paling bisa diandalkan.” Abi menjawab singkat. Dan entah bagaimana prosesnya, aku merasa seperti ada kupu-kupu beterbangan di perutku, memberi efek kepakan sayap kecil yang menyejukkan.

“Oke, aku anggap itu pujian.” Kuiiringi kalimatku kali ini dengan senyum yang tidak bisa ku tahan.

“Kamu....mengagumkan.”

Aku diam, hanya meliriknya selama dua detik dan berpaling menatap bayanganku sendiri di jendela samping.

“Coba lihat deh, meskipun si Ivan ngejek kamu terus, tapi dia paling peduli kan? Atau si Ilham yang juga paling rela nganter kamu pulang naek motor jauh-jauh. Itu karna kamu yang sebenernya mereka butuhkan. Makanya mereka care sama kamu.”

Aku membuka mulut dan menyuguhkan tawa kecilku. “Oh ya? Ivan ngehina aku terus gitu, apanya yang peduli? Huh. Dia itu nyebelin banget.”

“Belum lagi Arief yang nembak kamu, ya kan? Dan aku rasa, Ilham itu juga naksir kamu.  Itu tandanya emang kamulah magnet mereka.”

“Masa sih?” Aku pikir Abisara yang paling peduli terhadapku.

“Coba bayangin kalo mereka semua tau belakangan ini kamu seringnya jalan sama aku. Wah, bisa cemburu mereka.”

“Ngapain cemburu? Nggak ada alasan buat mereka cemburu. Dan ngomong-ngomong aku baru nyadar  kalo kita mulai sering jalan bareng. Haha.” Kali ini Abi yang melirikku. “Kenapa kamu jadi sering  ngajakin aku jalan gini?”

Lagi-lagi Abi melirik. “Ehm...karna, seandainya aku nggak punya pacar, aku pasti udah nembak kamu Len.” Dan lirikannya terhenti.

Kurasa kali ini kupu-kupu di dalam perutku semakin bertambah banyak dan menghasilkan ribuan kepakan kecil yang mengganggu. “Aku akan buat Ivan, Ilham, Arief, dan semua cowo cemburu karna bisa bersamamu.” Seringainya usil. That’s it. Senyum jahil itu yang aku menawanku. Seandainya dia tidak sedang bersama wanita lain. Seandainya.

... ... ... ... ...

Jaga diri baik-baik ya
Aku balik dulu
Semoga Tuhan mempertemukan kita lagi lain waktu
Oh ya, mungkin aku ga bisa sering-sering hubungi kamu lagi
Tau kan? hehe
Kamu cantik, meskipun sipit, hehe
Kamu baik, dan peduli sama temen-temen
Tetaplah seperti ini ya
Maafin semua hal dariku yang mengusikmu atau sikapku yang nyebelin
But I do care of you
See ya, oneday...

Kuhela nafas panjang yang berat, bingung memutuskan dengan kalimat apa harus kubalas pesan singkatnya kali ini. Reuni tiga setengah minggu yang lalu sempat mengacaukan salah satu sudut pikiranku, memenuhinya dengan nama Abisara. Dan inilah saatnya untuk mengeluarkannya keluar dari memoriku. Jauh dari otakku. Saatnya dia kembali ke kota sana. Kembali melanjutkan rutinitas kemahasiswaannya juga kembali pada wanita yang menunggunya. Aku hanya Helena untuknya, dan dia tetap Abisara sepuluh tahun yang lalu. Tapi bagiku saat ini, segalanya telah berbeda.



"L"
Agustus 2010
Merah-biru-putih

Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

0 Response to "Re-meet"

Post a Comment