Obat

0 comments
Pagi. Rasanya aku lupa sudah hari keberapa. Menurut kalender, ini masih minggu pertama bulan sepuluh. Menurutku ini sama saja dengan minggu pertama menuju ketidak warasan pikiranku setelah berhari-hari tidak melakukan apa-apa kecuali memproduksi air mata, dan bergulat dengan seprei, bantal dan guling yang terus berpindah tempat. Minggu pertama ini benar-benar menyeretku pada masa menyebalkan yang belum kutemukan cara melewatinya. Jika aku dianggap sakit, maka aku butuh obat. Mana obat? Tolong apa saja hentikan air asin yang terus mengaliri pipiku ini. Entahlah dimana, tapi obat penyembuhku tidak ada disini. Aku rasa.

Aku mencoba menekan tombol-tombol ponselku tanpa tujuan. Tidak untuk main game, tidak untuk menghabiskan pulsa bertelfon dengan seseorang, tidak untuk apapun. Aku hanya butuh kegiatan kecil untuk memindahkan onggokan kesedihan dari sudut pikirku ke sudut lain. Tidak tega dan tidak punya cadangan ponsel lain menjadi alasanku untuk melemparnya ke atas tempat tidur, bukan di lantai. Aku bisa semakin tidak waras jika ponsel ini sampai hancur kubanting. Tidak lebih dari empat detik setelah kulempar seenaknya, ponsel itu mengeluarkan getaran mengganggu. Getaran yang lebih seperti suara lebah mendengung tanpa ringtone. Malas. Kubiarkan saja dengungan itu hingga berhenti dengan sendirinya.

Baru saja memutuskan untuk mengistirahatkan kelopak mataku, dengungan itu kembali datang. Kali ini lebih pendek. Sebal. Kucari muasal dengungan mengganggu itu yang ternyata berada diantara bed cover yang semrawut.

1 missed call

1 message received

Aku yakin aku melongo saat menyadari dengungan panjang yang kuanggap mengganggu tadi adalah obatku. Ya...obat penghenti air mata sialan ini. Hatiku mencelos. Sial. Kusesali aksi mogok memegang ponsel tadi, kusesali lemparan ke arah tempat tidur lembab air mata tadi. Sial. Sial. Apa aku harus menelpon balik? Baiklah, aku rasa tidak akan ada produksi air mata lagi untuk beberapa jam kedepan. Producting akan diganti dengan Confusing dan Deciding. Bingung memutuskan. Haruskah ku telpon balik? Siapa tau aku bisa minta obatku di-delivery seperti makanan cepat saji di jalan protokol sana.

Shit. Masih ada 1 message received. Siapa tau dari sumber yang sama. Cepat-cepat kubuka pesan masuk itu dengan dada berdegub dan harapan membumbung. Come on, it has to be my medicine. It has to!

Lagi apa kamu? Sibuk?
You know... I’m home! Hehe
Lunch? Today?

Yes! Benar-benar penyembuhku! Membacanya saja sudah sangat mengurangi kesakit-jiwaanku. Tangisan-tangisan bodoh beberapa hari kebelakang sudah tak lagi aku gubris. Aku tau obat penyembuhku akan datang, I know it! Dia hanya menyiksaku beberapa waktu dengan rindu yang tak habis. Menyiksaku dengan kangen yang dia pasung. No message, no call. Dia benar-benar membuatku nyaris gila.

Confirmed. Lunch today!

Dengan cepat kususun kalimat singkat membalas pesannya. Aku harus tetap cool. Es. Es! Mana es?! Aku harus kompres mata bengkakku ini sebelum matahari meninggi. Harus.

*** *** *** *** ***

Aku ingin jadi merah-biru-putihmu. Dia selalu jadi yang kau pilih menemanimu kapan saja. Kenapa bukan aku?

Huft...seandainya aku keluar dari box kubus berjenis kamar itu sejak minimal kemarin. Penampilanku bisa jauh lebih oke dari sekarang. Tapi sudahlah. Setidaknya aku mendapatkan obatku siang ini. Dengan berpadu cerah matahari dan segelas Cappucino Ice Blended, dengan kamu dan merah-biru-putih didepanku, dengan asap rokok dari ujung jemarimu, juga kemeja kotak-kotak diatas kaus gelapmu. I’m healed.

“Jadiii....ada kabar baik apa?”

Graduation. Next month.” Senyumnya mengembang. Ini juga salah satu penyembuhku. Obatku.

“Wow... asik!” Apapun itu, yang membuatnya tersenyum harus membuatku melakukan hal yang sama juga.

“Aku bakal lama nih disini. Yaa...kira-kira sampai 2 minggu menjelang Graduation. Ehm...itu termasuk berita baik bukan?”

Pertanyaan bodoh. Ini berita terbaik! Ini obatku paling mujarab. Kamu.
Keberadaanmu disini sama dengan melewati beberapa angka berwarna merah di kalender. Seperti skenario film, aku sudah menyusun banyak adegan dalam daya khayalku. Akan ada dia, disini, bersamaku. Tentu saja bersamaku! Bisa lihat taman kota disana? Akan kuajak kamu mengingat memori masa kecil kita. Tentang permainan pancing ikan, tentang ayunan di sudut taman, tentang pelontar karet yang menerbangkan bambu kecil ke angkasa, tentang...semuanya. Atau kudapan lezat malam hari di pinggir jalan sana. Aku yakin kamu akan suka. Atau tentang lampu-lampu pantai yang kamu suka hembus anginnya. Atau...apa saja lah. Bersamamu. Obatku.

“Kamu ini, suka banget jalan-jalan.” Kali ini dia memberikan tawa kecil. “Sama kayak Nora.” Lanjutnya sambil menyeruput Espresso dari cangkir hitam kecil dihadapannya.

Mencelos.

 “Hehe..iya.” Kali ini kujawab singkat lalu diam. “Kamu pasti sangat mencintai Nora.” Kumainkan sedotan hitam dalam Cappucino Ice-ku tanpa melihat kearahnya. Rasanya obat ini tidak semujarab yang aku kira. Sigh.

Tanpa jawaban dari mulutnya, jemarinya menyentuh daguku, menggiringnya sekaligus tatapan mataku yang tetap berusaha tidak menoleh.  Sudah. Jangan suap aku dengan senyuman itu! Jangan sogok aku dengan sentuhanmu yang menenangkan ini. Rasanya air mataku ingin keluar lagi.

“Aku sayang kamu, Len...” Ujarnya pelan-pelan, mungkin berusaha agar aku mendengarnya, meresapinya. Aku masih diam. Hanya saja kali ini kupaksakan tersenyum. Kata-katanya lima menit yang lalu menjadi penyembuh tersendiri bagiku. Aku rasa aku harus memohon pada mata ini agar tidak menangis siang ini. Make-up yang susah payah kubuat menutupi lingkaran sembab disini akan luntur, jadi jangan rusak siang ini.

Jemarinya kali ini menyentuh pipiku. Gerak bibirnya memerintahku untuk menghabiskan Cappucino Iceku lalu berpindah tempat dari sini. Setidaknya hingga bulan berganti besok, dia akan disini. Setidaknya obatku punya cukup dosis hingga bulan sebelas. Bagiku, itu sudah cukup. Semoga aku tidak kecanduan obat-obatan. Kecanduan kamu.


“L”
Oktober 2010
Kembalinya Hadirmu

Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Capung

0 comments
6 hours ago, 14-12-2011

“Hai Di, gimana kabar? Udah nikah? :D”

“Hai sis, kabar baik. Wah, aku belum nikah nih, aku udah nggak sama Iver lagi. :)”

“Wow, ngagetin Di, padahal kamu udah akrab banget kan sama keluarganya :(“

... ... ... ... ...

Wall post itu akhirnya kubaca. Tentu saja bukan dari account bernama diriku. Wall post yang singkat. Tapi membuatku berfikir, aku bukan wanita yang bisa membaurkan diri dengan keluarga Iver, aku...berbeda dengan Di.

L bilang, aku harus mau menyadari perbedaan yang menghampar antara kami. Perbedaan yang membuat keluarga Iver seakan mengubur harapan untuk kami tetap bersama.

“Ikuti saja jalan yang ada didepanmu. Bersama Iver. Berlakulah baik Che, apapun hasilnya.meskipun keluarga Iver tetap tidak merespon setiap usaha yang kamu keluarkan untuk bisa sedikit diterima didalam silsilah mereka tapi tetaplahh berlaku baik. Perlakuan baik, akan membawa hasil yang baik pula, Che.”

“L... kamu selalu menguatkan aku...” Senyumku pahit. “Aku nggak diterima keluarga Iver, seperti mereka menerima Di...”

Aku sudah melakukan bagian terbaikku untuk kusajikan pada Iver dan keluarganya. Semacam hopeless. Aku tidak bisa menanam benih harapan dan mimpi, aku bahkan ragu mereka akan mati sebelum mencapai tunasnya. Kalau bukan Iver, maka pria lain yang akan menolak untuk sekedar bersinggungan denganku. Dengan keluargaku yang berantakan. Aku merasa tidak akan ada pria yang mampu untuk sekedar menerimaku beserta keluargaku yang semrawut ini.

“Kamu dan Di berbeda, Che. Kamu dan Iver juga berbeda. Tidak ada dua hal yang benar-benar sama di dunia ini.” Aku rasa L sudah hafal dengan jenis keluhanku kali ini. “Aku ingatkan satu hal, nasehat yang pernah kamu tanamkan dipikiranku. Cinta itu berbanding lurus dengan ketulusan, Che.”

Kalimat itu lagi. Aku tersenyum dalam hati. Itu kalimatku untuk L dulu, sekarang dia putar kembalikan untukku. Kamu memang sahabatku paling sejati L.

“Suatu saat nanti, Tuhan akan mengatur pertemuan dengan jodohmu yang masih Dia rahasiakan. dia yang dikirim Tuhan, yang menerimamu, dan segala tentangmu.”

Aku tau L selalu bisa menguatkan aku. Setidaknya untuk urusan menenangkan hatiku, L adalah mahkluk yang pertama akan kusatroni malam-malamnya dengan tangisanku.

“Apa sih  yang kali ini kamu tangisi?”

“Aku...menangisi segala keterbatasanku L...” Kujawab L dengan air mata yang kubuat tidak berhasil melewati pipiku karna usapan jemariku yang sudah basah oleh air mata-air mata sebelumnya.  “Aku merasa tidak pantas bersama Iver, wanita dengan latar belakang keluarga sepertiku. Aku rasa orang tua manapun tidak akan suka anaknya dekat-dekat dengan wanita sepertiku.”

“Chetosia Myrina. Ingat perkataanku kali ini, tidak ada yang salah dengan keluargamu. Ini hanya tentang, Kamu. Pria yang mencintaimu, hanya akan melihatmu, Che. Bukan embel-embel yang mengikutimu. Tuhan saja tidak pernah membedakan kasih yang Dia berikan untuk umatNya meskipun mereka berbeda.”

L tau persis betapa sebenarnya dengan atau tanpa kasat mata pun, aku dan Iver berbeda. Bahkan perbedaan kami sudah tercetak jelas dari nama yang kami bawa sejak lahir. Chetosia Myrina yang berupa jenis kupu-kupu bersama Iver Orthetum yang mengikuti klan capung. Aku rasa siapapun pasti tidak akan pernah menemukan perkawinan silang antara kupu-kupu dan capung, yang dalam dunia nyata kami, dimana Iver termasuk kaum yang akan merayakan Tahun Baru Naganya beberapa bulan lagi, denganku beserta keluarga berantakan-ku yang berwajah khas Indonesia. Bukannya tidak aneh jika aku meyakini akan adanya penentangan dari orang-orang disana.

Lalu aku menyadari satu hal. L selalu menerimaku, bahkan dengan embel-embel dibelakangku, anak dari keluarga berantakan, wanita yang harus bekerja keras seorang diri sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sendiri. Rasanya aku ingin memeluk L dan menyampaikan betapa aku berterimakasih.  Hanya L yang selalu bisa menerima ku dengan segala keterbatasanku. Suatu saat, aku akan menemukan pria seperti yang L ilustrasikan, pria dengan jiwa se-kembar L. Yang menerimaku. Aku hanya butuh penerimaan.

"C"
November 2011
Menanti penerimaan

Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Re-meet

0 comments
Dia nyaris tidak berbeda dari Abisara yang kukenal sejak enam belas tahun yang lalu. Sepuluh tahun berpisah dan tidak saling bertemu, tidak membuatku pangling padanya. Pada Abisara Vandino. Sosok laki laki mungil yang kali terakhir aku temui sepuluh tahun yang lalu ini masih tetap terlihat mungil. Hanya style-nya yang sdh terkemas dalam gaya khas seorang pria. Kaos berwarna gelap, jam tangan bulat Swiss Army dan putung rokok berasap di tangan kanannya.

Sepuluh tahun lalu kamu mengayuh sepeda bersama teman-teman sekelas yang lain, dan sekarang aku menemui untuk pertama kali setelah bertahun-tahun di.....bengkel mobil? We’ve been grown up, haven’t we? Pikirku.

“Helena?” Tanyanya ragu. Helena? Hanya teman-teman lama yang masih memanggilku dengan nama itu, selebihnya teman-temanku kini lebih sering memanggilku El, dari kata Elen, lebih singkat lagi “L”. Cukup dengan satu huruf untuk memanggilku.

“Iya.” Jawabku singkat.

“Rethanior Helena, apa kabar?” Dia menjabat jemariku. Untuk jawabanku yang amat singkat, dan agak judes, pertanyaannya termasuk dategori ramah dan tidak membalas kejudesanku.

“Baik. Jangan lupa tanggal dua puluh ya, nih undangannya.” Masih ketus, tanganku memberikan selembar kertas seperenam kuarto bertema Reunion Invitation pada pria bertopi merah-biru-putih di depanku.

“Oke, duitnya aku transfer aja yah?”

“Bisa, ntar aku sms nomor rekeningnya.” 


Re-meet kami kali itu cukup singkat. Sebuah re-meet yang mengingatkanku pada banyak hal sepuluh tahun lalu.

... ... ... ... ... ...

“Pertama kali aku anterin kamu pulang, rasanya rumahmu ini jauh setengah mati.” Masih dengan topi merah-biru-putihnya dia bicara dan berdecak-decak. “Udah jauh, gelap pula. Kalo aku jadi Bupatinya, aku bakal pasang lampu jalan tiap lima meter di daerah sini.”

“Kamu ini ngeluh aja, ya memang sih akses menuju rumahku selalu punya kesan horor ya? Tapi toh nyatanya kamu yang paling rajin anter-jemput aku kan?” Jawabku meliriknya.

“Iya ya? Hehehe. Aku jadi mulai biasa nih lewat jalan ini.” Ujarnya sambil tetap mengemudi. Abi yang kukenal sebagai sosok laki laki imut bercelana merah pendek yang ingusan, kini lihai mengemudikan kaleng besar berlabel mobil. Betapa sepuluh tahun merubah segalanya, kecuali posturnya yang tetap mungil. Seingatku, dulu aku tidak pernah sedekat ini dengan Abi. Dan reuni ini memaksaku untuk mengenalnya lebih dari sepuluh tahun kemarin.

You know what, sekarang aku ngerti  kenapa temen-temen pada suka ngadu ke kamu, nyerahin segala macem kerjaan ke kamu, atau godain kamu.” Katanya tetap menatap pada aspal gelap di luar sana.

“Oh ya? Memang kenapa menurutmu?”

“Karna kamu yang paling bisa diandalkan.” Abi menjawab singkat. Dan entah bagaimana prosesnya, aku merasa seperti ada kupu-kupu beterbangan di perutku, memberi efek kepakan sayap kecil yang menyejukkan.

“Oke, aku anggap itu pujian.” Kuiiringi kalimatku kali ini dengan senyum yang tidak bisa ku tahan.

“Kamu....mengagumkan.”

Aku diam, hanya meliriknya selama dua detik dan berpaling menatap bayanganku sendiri di jendela samping.

“Coba lihat deh, meskipun si Ivan ngejek kamu terus, tapi dia paling peduli kan? Atau si Ilham yang juga paling rela nganter kamu pulang naek motor jauh-jauh. Itu karna kamu yang sebenernya mereka butuhkan. Makanya mereka care sama kamu.”

Aku membuka mulut dan menyuguhkan tawa kecilku. “Oh ya? Ivan ngehina aku terus gitu, apanya yang peduli? Huh. Dia itu nyebelin banget.”

“Belum lagi Arief yang nembak kamu, ya kan? Dan aku rasa, Ilham itu juga naksir kamu.  Itu tandanya emang kamulah magnet mereka.”

“Masa sih?” Aku pikir Abisara yang paling peduli terhadapku.

“Coba bayangin kalo mereka semua tau belakangan ini kamu seringnya jalan sama aku. Wah, bisa cemburu mereka.”

“Ngapain cemburu? Nggak ada alasan buat mereka cemburu. Dan ngomong-ngomong aku baru nyadar  kalo kita mulai sering jalan bareng. Haha.” Kali ini Abi yang melirikku. “Kenapa kamu jadi sering  ngajakin aku jalan gini?”

Lagi-lagi Abi melirik. “Ehm...karna, seandainya aku nggak punya pacar, aku pasti udah nembak kamu Len.” Dan lirikannya terhenti.

Kurasa kali ini kupu-kupu di dalam perutku semakin bertambah banyak dan menghasilkan ribuan kepakan kecil yang mengganggu. “Aku akan buat Ivan, Ilham, Arief, dan semua cowo cemburu karna bisa bersamamu.” Seringainya usil. That’s it. Senyum jahil itu yang aku menawanku. Seandainya dia tidak sedang bersama wanita lain. Seandainya.

... ... ... ... ...

Jaga diri baik-baik ya
Aku balik dulu
Semoga Tuhan mempertemukan kita lagi lain waktu
Oh ya, mungkin aku ga bisa sering-sering hubungi kamu lagi
Tau kan? hehe
Kamu cantik, meskipun sipit, hehe
Kamu baik, dan peduli sama temen-temen
Tetaplah seperti ini ya
Maafin semua hal dariku yang mengusikmu atau sikapku yang nyebelin
But I do care of you
See ya, oneday...

Kuhela nafas panjang yang berat, bingung memutuskan dengan kalimat apa harus kubalas pesan singkatnya kali ini. Reuni tiga setengah minggu yang lalu sempat mengacaukan salah satu sudut pikiranku, memenuhinya dengan nama Abisara. Dan inilah saatnya untuk mengeluarkannya keluar dari memoriku. Jauh dari otakku. Saatnya dia kembali ke kota sana. Kembali melanjutkan rutinitas kemahasiswaannya juga kembali pada wanita yang menunggunya. Aku hanya Helena untuknya, dan dia tetap Abisara sepuluh tahun yang lalu. Tapi bagiku saat ini, segalanya telah berbeda.



"L"
Agustus 2010
Merah-biru-putih

Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Time to Work..(?)

0 comments
Setiap anak kecil selalu punya ide ajaib untuk dijadikan cita-cita, belasan tahun yang lalu, aku menjadi salah satu dari mereka. Dulu, aku bercita-cita untuk menjadi Polwan, sempat pula ingin jadi pemain bulu tangkis. Seingatku, saat aku SD kira-kira, entah ingin jadi apa, tapi aku ingin bekerja di Boscha, buat apa lagi kalau bukan melihat bintang. Haha. Lalu berubah menjadi Tenaga Ahli yang bekerja di LIPI. Kemudian, saat aku mulai bertranformasi dari sekedar gadis menjadi wanita, aku dan seorang sahabatku bercita-cita untuk menjadi seorang dosen di Universitas yang sama, tempat kami kuliah.

Tapi kemudian, here I am. Diam drumah, bangun pagi-pagi buta dan menulis untuk blog-ku. Katakan aku aku jobless, tapi aku masih menunggu pekerjaan yang tepat. Bukankah semua orang begit?. Dan ngomong-ngomong soal pekerjaan yang tepat, ada beberapa hal yang membuatku sedikit galau. Di daerah manakah aku harus bekerja?

Lagi-lagi aku belajar dari pengalaman-pengalaman yang sudah dan sedang dirasakan oleh beberapa teman dan sahabat. Sebagian dari diriku bisa dibilang sangat-sangat-sangat menginginkan untuk bekerja di sini, di tempatku berdiam sekarang. Memang bukan tempatku dilahirkan, tapi tempatku belajar menjadi dewasa. Kenapa? Entahlah. Kadang jawabanku bisa terbantah oleh orang lain, tapi aku ingin disini, dekat dengan keluargaku, disinilah keluargaku, tempatku inilah keluargaku. Dan tempaku inilah, tempat tujuan sahabat-sahabatku pulang. Pemikiran kedua, hemat beib. Dengan bekerja di instansi yang sama di berbagai tempat, dengan gaji yang sama pula, I’ll save much more money, won’t I? Anggap saja aku punya gaji 3juta (rata-rata gaji teman-temanku), dan aku bekerja di kota besar yang sangat menunjang gaya hidup hedonisme-ku. Bisa dipastikan, gajiku akan ludes dalam sepersekian hari. Dipotong biaya makan, uang kost, dan kebutuhan-kebutuhan tidak terduga yang lain.


Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Maukah Kau Menikah Dengan.....?

0 comments
Tentang wanita-wanita dan keputusan hidupnya, kadang memang hal yang complicated tapi berbanding lurus kadang juga bisa dikategorikan interesting. Aku terlahir sebagai wanita, physically, and mentally. Bukan semacam wanita "jadi-jadian" yang terbiasa menjadi pelarian saat Kantip datang. I'm a woman, truly.

Di usiaku yang sekarang, aku juga tidak bisa memberi label pada jenis apa aku berdiam. Child? tentu bukan. Teenagers?  masa itu sudah aku lewati. Adult? hey...I'm not married!  Jadi...what am I?  Yah, setidaknya aku masih manusia berjenis kelamin wanita, penyuka pria, setidaknya I'm normal. Teman-temanku sering berkata, "Kita wanita" bukan gadis, bukan cewek, kita wanita. Dewasa. Mature. Dalam hal ini, aku setuju dengan anggapan "mature", kan tidak berarti harus sudah menikah, berkarir cemerlang, atau apalah itu. Menurutku, mature muncul dari pola pikir, dan behavior seseorang. Dan somehow, dari cara orang tersebut mengambil keputusan dalam hidup.

In line with that, kadang keputusan-keputusan seorang wanita mengalami ketidak-relevan-an dengan wanita lain. Penentuan pilihan hidup, juga kadang menjadi sebuah pembeda satu wanita dengan yang lainnya. Contoh paling sederhana, namun yah...lagi-lagi complicated adalah tentang Pernikahan. Ilustrasinya seperti ini:

Wanita 1
Jaman sekarang nikah muda? No way! Big NO! Yang bener, jadi wanita sekarang harus berkarir dulu. Di kotaku, banyak wanita yang sudah mencapai angka 30 untuk usianya tapi masih single happy, bukan karna nggak laku, tapi karna mereka ingin berkarir, menata masa depan, berpenghasilan dan mapan, setidaknya untuk diri sendiri. Bayangkan jika kita, para wanita, masih muda, seumur 20an, belum berpengalaman hidup, tidak bekerja, tidak membuat pundi rupiah untuk peti harta kita sendiri, mau jadi apa? Anggap saja kita menikah pada kondisi seperti itu, lalu punya anak. Suatu hari ketika gaji suami kita hanya cukup untuk mengenyangkan perut dan membayar tagihan-tagihan bulanan rumah, juga cicilan kendaraan yang mengepulkan asap kenalpot,  disaat yang sama kita ingin punya label bermerk di baju kita, membuat jemari berkilau dengan permata, lalu bagaimana? Bukankah lebih baik kita bisa menghidupi diri kita sendiri? 
Andaikan kita sudah mampu memberikan suami-suami kita keturunan mereka, lalu gaji mereka hanya cukup untuk mengepulkan dapur, untuk membetulkan pipa atau merenovasi genteng yang bocor, atau sedikit demi sedikit membayar cicilan rumah, saat itu juga sudah tiba masa sekolah anak-anak, bukankah lebih baik kita, para wanita bisa menyumbang sedikit rupiah dari kantong kita untuk menyekolahkan? Bisa jadi dengan gaji yang hanya sebegitu, suami-suami kita hanya mampu menyekolahkan "seadanya", hey...jaman terus berubah, biaya sekolah semakin bertambah! 
Bukankah akan miris jika kita tidak bisa membelikan mainan selayak teman-temannya disekolah, membawakan bekal lebih sehat dari teman sebangkunya, membelikan alat tulis high quality untuknya menuntut ilmu? 
jadi...bukankah wanita lebih baik bekerja? Tidak menggantungkan diri pada suami. Bahkan survey telah membuktikan, alasan perceraian nomor 1 adalah karna "Ekonomi".



Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO