Tulisan Pertama yang Saya Unggah

7 comments
Mungkin ini adalah tulisan non-fiksi pertama yang saya unggah di blog ini.

Beberapa waktu lalu, seorang teman menawarkan kepada saya sebuah pekerjaan baru, di tempat yang baru, dengan pengalaman baru dan orang-orang baru. Sebuah tawaran yang sangat menarik bagi saya. Namun, saya tidak bisa tidak mengakui bahwa saya selalu takut memulai sesuatu yang baru. Saya mulai mempertimbangkan ini-itu, membuat perhitungan, menerka-nerka apa yang akan terjadi setelah saya memilih nanti. Saya terus berpikir, sampai saya menyadari sesuatu.

Mungkin, ketakutan saya disebabkan karena saya terlalu lama berada di zona nyaman saya.

Saya terlalu nyaman berada di tempat kerja saya sekarang. Saya nyaman dengan orang-orangnya, tempatnya, waktu kerjanya, dan banyak hal lain. Saya selalu tahu bahwa saya tidak akan selamanya berada di sini, saya hanya tidak tahu bagaimana dan kapan saya berhenti. Sampai ketika ada sesuatu yang baru datang, saya menjadi ragu, apakah hal baru itu akan lebih baik dari apa yang saya dapatkan sekarang? Bagaimana kalau saya gagal? Saya tidak akan bisa kembali. Bagaimana jika saya menyesal? Saya tidak bisa memutar waktu. Bagaimana jika saya harus mengubah semua kebiasaan yang saya suka? Bagaimana kalau saya harus bekerja lebih keras dan saya tidak mampu? Bagaimana kalau ternyata saya malah membuat banyak orang kecewa? Dan banyak pertanyaan berbeda yang terus muncul di kepala saya.

Lalu, saya menyadari sesuatu yang lain. 

Manusia, bagaimana pun, tidak akan berada terlalu lama ada satu tempat yang sama. Saya tidak akan selamanya tinggal dengan orangtua saya karena saya harus bertumbuh dan belajar tidak bergantung, saya tidak akan selamanya bersekolah di universitas karena saya akan lulus kemudian bekerja, saya tidak akan selamanya terus berpacaran dengan seorang pria karena suatu hari kami akan putus atau menikah, saya tidak akan selamanya memakai ponsel saya yang sekarang karena suatu hari itu akan rusak, dan banyak contoh lain—yang terkadang membuat saya takut, tapi mau tidak mau harus saya lakukan.

Siap atau tidak, saya akan selalu melangkah memasuki fase-fase hidup yang selalu berubah, yang tidak akan pernah sama dengan orang lain. Dan mungkin, ini adalah salah satu fase ketakutan yang harus saya lewati untuk kemudian menghadapi fase lain—yang bisa jadi lebih menakutkan.

Hingga akhirnya saya memutuskan untuk membagi ini di blog saya. Sampai kemarin, saya selalu menolak untuk mengunggah tulisan yang bukan tentang puisi, prosa, atau cerita pendek. Namun, lagi-lagi saya kembali teringat, bahwa saya tidak akan selamanya mampu menulis puisi, bahwa tidak selamanya saya ingin membagi perasaan rindu saya dalam bentuk cerpen, bahwa saya sebenarnya ingin membagi cerita dalam bentuk yang berbeda. 

Saya memang belum memutuskan apakah saya akan menerima tawaran kerja dari teman saya itu. Namun, saya sudah memutuskan satu hal.

Saya akan berhenti menulis di sini.

Mungkin ini adalah tulisan non-fiksi pertama yang saya unggah di blog ini, dan mungkin, ini juga adalah tulisan terakhir yang saya unggah di blog ini. 

Saya tidak akan menutup blog ini. Saya juga masih akan membiarkan semua tulisan saya berada di sini tanpa ada yang saya hapus. Saya tidak akan mengubah apa pun yang ada di dalam blog ini. Kalau saya merindukan tulisan-tulisan saya yang romantis dan—sebut saja—alay, saya akan kembali berkunjung kemari.

Saya hanya akan berpindah tempat, karena saya tahu tidak ada sesuatu yang terus berada di tempat yang sama dalam waktu yang terlalu lama.

Jadi, sampai jumpa di tempat lain! :)


Semanggi, 14 Agustus 2015
Dengan banyak cinta, 

Riesna Kurnia



Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Antonim

0 comments
"Kamu selalu tenang, dan selalu menenangkan.”

Ucapanmu itu membuat saya tersenyum.

Saya pikir saya tidak setenang itu. Kamu mungkin tidak tahu, tapi saya adalah orang yang mudah panik. Saya adalah orang yang akan menjerit saat ponsel saya jatuh, dan kebingungan ketika saya tidak bisa menemukan kunci kamar saya. Saya juga mudah khawatir saat saya tidak bisa menyelesaikan pekerjaan saya sesuai tenggat waktu.

Saya bukan orang yang tenang. Saya mudah menangis bahkan ketika menonton film animasi tentang robot masa depan, dan cemas ketika melihat adegan pembunuhan. Dalam satu jam, saya bisa puluhan kali mengecek ponsel saya saat kamu tidak muncul untuk sekadar menyapa saya. Saya bahkan selalu merasa ada yang salah saat kamu membalas pesan saya hanya dengan satu-dua kata yang singkat.

Saya tidak setenang yang kamu kira.

Ketika kita merencakan sebuah pertemuan, saya akan kembali tidak tenang. Saya akan sibuk memikirkan baju apa harus saya kenakan atau tas mana yang harus saya pakai. Saya akan berkali-kali memastikan bahwa jadwal saya tidak berubah dan baterai ponsel saya harus selalu penuh. Saya akan memikirkan bagaimana sebaiknya riasan saya, apa yang harus saya bawa untukmu, dan masih banyak yang lainnya.

“Kalau aku ikut panik, nanti yang nenangin kamu siapa?” Saya tersenyum. “Hubungan itu, kan, harus seimbang. Ada yang ragu, ada yang ngeyakinin. Ada yang suka cerita, ada yang jadi pendengar. Ada yang gampang panik, ada yang tenang.”

“Hehehe, iya,” jawabmu. “Ada yang suka remang, ada yang suka terang. Ada yang hobi banget sepakbola, ada yang bahkan nggak suka olahraga. Ada yang doyan kecap, ada yang suka cabe.”

Saya mengangguk. Saya tahu, kamu dan saya adalah dua orang yang bertolak belakang. Kamu dan saya adalah dua orang yang mungkin tidak akan bisa selalu sependapat, tapi masih selalu berusaha untuk berharap dan percaya satu sama lain.

“Makasih udah mau dengar semua ceritaku dan membuatku tenang,” katamu.

Lagi-lagi saya tersenyum.

Sungguh, saya tidak setenang itu. Saya tidak pernah setenang itu.

Satu-satunya hal yang membuat saya tampak selalu tenang di hadapanmu adalahbahwa saya percaya kamu akan bisa mengatasi semua hal yang membuatmu cemas, dan bahwa kamu masih akan selalu ada untuk menemani saya.



Kemanggisan,  24 Juni 2015

Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Seseorang Bernama Laut

1 comments
Aku ingin menjadi laut
Yang batas antaranya dan langit adalah matahari terbenam
Yang akan kautangkap merahnya
Dan kausimpan di saku kemeja, dekat dengan jantungmu

Aku ingin menjadi laut
Tempatmu menjala semua ikan yang kau jadikan harapan
Tempat kau berani menantang matahari tanpa takut kehausan

Aku ingin menjadi laut
Yang kepadaku, kau akan rela menyelam
Hingga jauh
Hingga habis napasmu



Cilandak, 6 Mei 2015

Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Taurus

0 comments
Ada sesuatu yang ingin saya ceritakan kepada kalian tentang dia yang tak pernah kalian kenal.

Bertahun-tahun yang lalu, kami banyak menghabiskan waktu bersama dengan mendengarkan musik di sepanjang perjalanan, ke mana pun kami pergi; perjalanan mengantarnya ke dokter, memilih baju baru untuk hari raya, membeli sepiring martabak, atau sekadar melihat langit cerah di malam hari dari tepi pantai. Kami bahkan pernah sengaja mengambil jalan berputar hanya untuk mendengarkan seluruh daftar lagu di CD barunya. 

Saya sudah tidak benar-benar ingat lagu apa yang paling sering kami nyanyikan bersama, atau bagaimana kami berebut memilih CD mana yang akan kami putar selanjutnya. Namun, saya ingat bagaimana kami kemudian memutuskan untuk tidak lagi memutar CD kami di perangkat yang sama. Dan saat itu saya menyadari, bahwa kami mulai bertumbuh dan mendewasa, dengan keinginan-keinginan yang baru, dan lagu-lagu yang berbeda. 

Sekarang, kami memang tidak lagi mendengarkan musik dan lagu yang sama di waktu yang sama. Kami bahkan sudah memiliki rute dan perjalanan yang berbeda. Tapi, saya tahu, kami masih saling mendoakan. Dan, saat menulis ini, percayalah bahwa saya sedang meminta kepada Tuhan supaya hidup kami selalu baik-baik saja dan supaya dia tetap mengingat saya. 


Kemang,
22 April 2015

Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO