Anak Logam di Tengah Jakarta

2 comments
“Kamu tahu sebutan anak logam?”

Kamu mengerutkan kening. Tentu saja, kamu yang lahir dan besar di Jakarta tidak tahu apa itu anak logam. Kamu hidup di antara kemacetan jalan Sudirman, ujung Monas, asap knalpot dari angkot-angkot dengan sopir yang merasa jelmaan dari pembalap F1, sampai mal-mal besar yang bisa membuatmu tersesat di dalamnya.

“Jadi, kalau kamu naik kapal laut dari Banyuwangi menuju Denpasar, kamu akan ketemu sama anak-anak yang berenang di dekat kapal.”

“Berenang? Di dekat kapal? Nggak ditabrak sama kapalnya?”

Kadang,  kepolosan dan caramu bercanda membuat saya tidak bisa membedakan keduanya. “Nggaklah. Biasanya kapalnya belum jalan, atau baru jalan, jadi mereka hati-hati. Mereka nunggu penumpang kapal yang mau ngelemparin uang receh ke laut—uang logam. Kalau kamu lempar uang logam seratus rupiah, mereka akan berebut ngambilnya.”

“Tapi, kan, uangnya bakal tenggelam, gimana mereka ngambilnya?”

“Ya, mereka berenang, menyelam. Siapa cepat dia dapat. Kalau salah satu dari mereka berhasil dapat uangnya, mereka akan muncul ke permukaan dan mengangkat uangnya tinggi-tinggi, sambil senyum lebar ke penumpang yang ngelihatin mereka dari dek.”

Keningmu makin berkerut, membuat alis melengkungmu membetuk garis nyaris sejajar. “Menyelam cuma buat duit seratus perak?”

“Dulu, sih, seratus perak itu banyak. Berapa tahun yang lalu, ya? Hm—sekitar lima belas tahun lalu mungkin. Waktu itu aku masih awal-awal SD. Sekarang, aku malah nggak tahu apa anak-anak logam itu masih ada atau nggak.”

Kamu mendengus, tapi bibirmu menyunggingkan senyum. Senyum tipis yang tidak pernah tidak saya suka. “Anak logam itu seru, ya?”

Saya mengangguk. “Kamu tahu bagian paling serunya?”

Kamu melebarkan matamu. Mata yang bulat dengan warna kecokelatan. Kamu menggeleng.

“Anak-anak logam itu menyelam tanpa memakai alat bantu apa pun. Mereka bahkan nggak pakai kacamata renang. Jadi, kamu bisa bayangin gimana mereka harus membuka mata dan menahan perih karena air laut yang asin dan gimana mereka harus kuat menahan napas sampai uang logamnya ketemu. Sebelum uang logamnya jatuh makin dalam ke dasar laut.”

Bibirmu kini membuka, membentuk huruf O yang besar. “Gila. Nahan napas demi ngambil uang logam doang? Tapi, buka mata di dalam air laut juga menyakitkan, sih. Itu pasti perih banget.”

“Iya, anak-anak logam kebanyakan matanya merah. Tapi, napas mereka panjang-panjang, jangan salah. Pada bagus kalau ngaji.”

“Kamu pernah jadi anak logam?”

“Aku memang besar di daerah yang dekat laut. Tapi, menyelam, menyakiti diri sendiri untuk sesuatu yang hanya bisa kita nikmati sesaat? Duit seratus perak yang kalau dikumpulin cuma bisa buat beli Chiki atau kelereng?” Saya menggeleng. “Nggak pernah. Aku cuma pernah jadi anak pantai yang kerjanya ngumpulin kerang. Itu juga akhirnya dibuang sama Ibu, dibilang sampah.”

Kamu tertawa kecil. Tawa yang jarang sekali saya dengar terlalu berisik, lebih sering hanya senyum lebar tanpa suara.

Saya mungkin tidak pernah jadi anak logam. Tidak pernah berenang di laut, di bawah terik matahari yang membuat kulit saya hitam legam. Tapi, saya tahu bagaimana rasanya menyelam sampai ke dasar, menahan perih di mata saya, dan menahan napas yang membuat saya sesak, demi sesuatu yangsaya tahu—tidak akan pernah bisa saya miliki selamanya.

Kamu.


Banyuwangi, 
24 Oktober 2014

Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO