Sunrise Terindah

2 comments
“Besok pagi waktu matahari terbit, kamu pasti bisa liat view yang bagus banget.”

“Oh ya? Aku sedang tidak tertarik liat view apapun! Aku hanya ingin menghabiskan sisa malam ini sama kamu, that’s it!”

“...........ayo tidur.”

“Cuma itu?”

“Apa lagi?”

“Tidak inginkah kau memberi aku pelukan hangat?”

“............kemarilah............”  Diam. “Sekarang tidur ya.”

“........”

“Besok pagi, aku akan perlihatkan sunrise terindah.”

“Aku tidak ingin sunrise, aku ingin kamu.”

“Aku disini.”

“Tetaplah memelukku.”

“.........”

“Kau tampan sekali.”

“Tidak...”

“Hanya itu?”

“Aku hanya pria biasa.”

“Itu yang membuatmu bernilai di mataku.”

“.........”

“Jamahi aku. Aku milikmu malam ini.”

“Kurang eratkah pelukanku?”

“.........”

“Hey...jangan menangis. Kumohon, jangan ada air mata malam ini.”

“.........”

“Sudah ya, jangan menangis lagi.”

“Ini memang pekerjaanku, kotor ya? Apalagi yang bisa kulakukan?”

“Kamu akan menemukan pria baik.”

“Pria baik mana yang akan mengangkatku dari kubangan kotor ini. Aku sudah hina.”

“Kamu gadis yang sangat berharga.”

“Maka jamahi aku. Sekarang.”

“Aku ingin kau mendapat  perlakuan pantas.”

“Aku akan merasa pantas jika kau mau membuka mata dan menyentuhku. Selembar rupiah di pagi 
hari juga tak apa. Selembar saja.”

“Akan kuberi kau lebih dari itu.”

“Kalau begitu ayolah. Akuingin kau menghujamiku dengan ciumanmu.”

“Tidurlah...sudah larut.”

“.........”

“Hoaahhmm........”

“Kalau kau tak ingin menjamahku, jangan pulangkan aku besok. Bawa saja aku lari. Selamatkan 
aku.”

“Akan ada pria lain yang menyelamatkanmu.”

“Tapi aku ingin kamu yang melakukannya.”

“Tidurlah...”

Secangkir kopi hangat tersaji di meja bundar di sudut ruangan. Disampingya terselip sebuah amplop berisikan puluhan lembar rupiah berwarna biru. Banyak. Tapi sosok pria itu menghilang.

“Kau terlihat sangat cantik saat tidur. Isilah malam malammu dengan mimpi indah, seperti semalam. Jangan biarkan pria pria itu menjamahmu lagi. Jika tidak ada yang menyelamatkanmu, larilah, selamatkan dirimu sendiri. Bebaskan dirimu. Kau akan bahagia.
Kau cantik”

Secarik kertas dengan tulisan cakar ayam terlipat di dalam amplop. Ada gurat lega, bahagia. Penghargaan itu terlalu indah. Dia tersenyum.

“Aku akan pergi. Aku harus membersihkan diri dari kubangan nista ini. Aku tak akan kembali ke pondok laknat itu. Wanita bertubuh gempal itu pasti akan merampas semua uangku dan kembali menjualku. Aku bebas!
Sunrise dari kamar ini memang terlihat paling indah.”

Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Garis Merah

2 comments
“Apa ini?!”

Mataku mulai buram, segalanya terlihat kabur. Pening. Kucoba menutup mataku, sekuat mungkin. Berusaha mengalihkan semua yg sempat terlihat, berharap semua hanya ilusi. Naas, garis garis merah itu malah muncul di pikiranku. Tidak dimataku, tapi di otakku!

Tuhan. Aku berdosa.

Kuraih gagang telepon di sudut ruang tengahku. Kutekan tombol tombolnya dengan jari lentikku yang bergetar. Kugigit bibirku gelisah. Sambil jari telunjuk dan tengahku memilin kabel telepon. Nada sambung pertama. Aku diam. Dengan gugup aku mengeja setiap huruf yang akan kujadikan sebuah pilihan kata. Nada sambung kedua. Kalimat! Jadilah sebuah kalimat! Pintaku pada sang otak! Nada sambung ketiga. Hening. Garis garis merah itu kembali terbayang jelas di pikiranku.

“Hei...” suara riang menyapa disebrang sana.

“Oh... heii...” aku menghela nafas. Apa yang harus kukatakan? Bisakah dia menerimanya? Akankah dia mau berbesar hati dan mengakui semuanya? Bingung.

“Kok diem?” dia kembali mengusik. “Masih pusing? Minum obatnya lagi.”

Aku hanya mengangguk bodoh. Menyadari dia takkan melihat anggukan lemahku. Dan telepon kali itu berakhir tanpa sebuah pengakuan dariku. Bodoh.
 ... ... ... ... ...

“Tenangkan dirimu! Jangan berlagak kayak anak kecil.” dia mulai membentak. “Kamu pikir aku nggak bingung? Nggak takut?” aku diam.

Bangunan kecil berbentuk rumah itu berkesan tua. Catnya serba putih. Aku tak tau jelas apa nama tempat itu. Papan namanya terlihat buram di mataku. Yang aku tau, tempat ini disebut laboratorium. Memang apa saja yang diuji disini?! Aku tak sempat memikirkannya lebih jauh, seseorang memanggil namaku, Putri Soraya. Aku berdiri, menghampiri wanita berbaju putih, semuanya berbaju putih disini, aku mulai mual.
Aku melirik sepasang mata yang menatapku. Dia diam, tegang. Haruskah aku melakukan ini semua? Di dalam sini? Tuhan, aku takut, takut sekali.

Wanita berbaju putih itu menyodorkan sebuah tabung. Pasti tabung ini punya istilah sendiri dalam dunia kedokteran, atau fisika, kimia? Ah...aku tak sempat mengingatnya. Yang aku tau, aku harus mengisinya dengan tetes tetes air dari tubuhku. Aku takut. Garis garis merah itu kembali muncul di benakku. Aku mulai membenci warna merah!

“Aku takut.” Kucoba mencari ketenangan dalam matanya. Dalam genggam tangannya. Dia tersenyum. Tampan. Meski tak sepatah kata yang dilontarkan, tapi aku sedikit tenang. Dia akan ada disampingku. Pasti.

Lima menit. Tak ada yang berarti

Sepuluh menit. Haruskah lebih lama lagi?

Lima belas menit berlalu. Aku mulai tersiksa, gelisah.

Dua menit kemudian, wanita berbaju putih yang sama menoleh ke arahku. Kembali memanggil namaku diiringi senyumnya yang mulai menua. Senyumnya terlalu tulus, terlalu manusiawi dan itu membuatku semakin ketakutan. Segera, pilihan katanya tepat menusuk ulu hatiku.
“Selamat ya...”  Aku limbung. Senyumku palsu.

... ... ... ... ...

Aku tak tau harus menangis atau apa. Lidahku kelu. Bibirku beku, kaku.

Tuhan. Aku berdosa.

Langkahku gontai, tapi pasti. Pria disampingku tetap berdiri tegak. Tidak taukah dia gejolak dalam hatiku? Tak taukah dia betapa aku ingin dia menyelamatkanku?

Garis garis merah itu lagi lagi muncul di benakku. Positif. Ya, positif!

Ucapan selamat dari wanita berbaju putih itu juga terngiang di telingaku. “Selamat ya... anda dan suami anda akan jadi orang tua. Orang tua yang bahagia.”

Aku? Suamiku? Orang tua? Jangankan sebuah maskawin, dia bahkan tidak melamarku. Lalu aku harus jadi orang tua macam apa?! Aku tidak ingin melahirkannya. Aku tidak ingin semua impian dan masa depanku hancur hanya karna aku salah memilih untuk menjadi orang tua. Bukan mahasiswa, bukan pegawai bank, penulis, designer, bahkan wanita karir. Aku ingin bahagia. Aku masih muda, cantik, kata orang aku pintar. Aku harus tetap seperti itu. Pilihan yang menungguku masih banyak. Aku harus kuat, tega. Kejam.
Bibirku yang tipis kembali berbohong. Memuluskan niatku untuk membuang hasil perbuatan laknatku yang tak berdosa. Aku berbohong, Tuhan. Ini salah, benar benar salah. Tapi apalagi pilihanku?! Studyku masih menanti. Karier, teman temanku, tak terbayang apa jadinya jika aku kehilangan itu semua.

... ... ... ... ...

“Jangan kayak anak kecil. Jangan mewek.”  Dia lagi lagi membentak. “Kita udah sampe sini, kamu ga mungkin mundur kan?!”  dan aku hanya mengangguk lemah sebelum kembali kuangkat daguku.

Tuhan. Aku berdosa.

Hanya dalam hitungan menit, aku merasa lambungku terkoyak. Bukan, bukan lambung, itu rahim! Mataku panas. Aku ingin menghentikan semuanya. Aku ingin teriak, menangis. Aku ingin berkata, “Jangan renggut dia, dia tidak bersalah, aku menginginkannya.” Aku tau rahimku mulai terluka. aku menginginkannya, meskipun tanpa maskawin darinya, aku akan melahirkannya. Aku akan merawatnya.

Terlambat.

Gumpalan darah memenuhi sebuah baskom kecil. Anakku! Itu anakku!
Tuhan. Aku berdosa.

Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Lie, Fly, Die

0 comments
Jadi, setelah berbulan-bulan (hampir tahun mungkin), blog ini akhirnya saya reactive. Lebih tepatnya mungkin "akhirnya saya gunakan". Lupa e-mail dan password jadi salah satu alasan tertundanya ke-eksis-an blog ini (disamping malas, hilang feel, kehabisan ide, dan segudang alasan lainnya.

Sebenarnya banyak yang ingin saya tulis, posting, atau apalah itu, sekedar menuangkan isi pikiran saya yang semrawut, tapi jelas masih dalam batasan logis juga melankolis. Saya punya spidol-spidol berwarna, pulpen-pulpen bermotif macam-macam, buku dengan spiral disampingnya, yah...untuk apalagi kalau bukan untuk membuat tulisan-tulisan meliuk-meliuk diatas kertasnya. Setidaknya kalaupun blog ini selalu tertunda kemunculannya, tapi tidak dengan tulisan tangan saya. 

Sebagian besar kawan saya, mungkin akan memenuhi kisahnya dengan drama percintaan ala Korea, seperti yang sekarang sedang happening. But, it's absolutely not for me. Saya lebih tertarik dengan apa yang mata saya lihat, yang telinga saya dengar, yang hati saya rasakan, yah...semacam itu lah. Kisah-kisah nyata disekitar saya selalu menjadi objek yang menakjubkan untuk disajikan dengan segelas kopi hangat di pagi hari, bahkan mungkin hingga malam. Anggap saja kisah tentang suami istri tanpa anak, atau gadis cacat bersuara indah, tugas akhir yang menjadikan seseorang thinking disorder (kalau saja ada thinking disorder), penamaan Tuhan bagi umatnya, atau hal-hal semacam itu menjadi objek saya menulis yang kebanyakan berbentuk cerpen. Apakah tidak ada cinta? Tentu saja ada, dan akan bisa ditemukan kisah penuh romansa disini, tapi mungkin lebih realistis dibanding sinetron yang tayang dari sore hingga malam itu.

Bagiku, kisah-kisah itu adalah sayap kupu-kupu. Aku sang kupu-kupu. Dengan sayapku yang bergaris vertikal horizontal, dengan pola yang menakjubkan, itulah kisah-kisah hidupku. Dengan kisah itu aku terbang, melewati beragam scene hidup. Dengan sayap itu, I'm lying down on the rainbow flowers, flying through the indridible life. Sayap-sayap itu membuatku tetap hidup, sama dengan kisah-kisah yang melingkari jiwaku, membuatku tetap berada pada jalur hidup yang Tuhan gariskan. Bayangkan jika kupu-kupu kelihangan satu sayapnya. Mati. Begitu pula aku. Saat sayap-sayapku, kisah-kisahku tak lagi bisa kumaknai, maka saat itulah jiwaku akan mati. Like butterfly, lie, fly, and die without wings.

Jadi, selamat menikmati kisah kupu-kupu ini.



Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO