Khayalan Tingkat Tinggi

6 comments
Garis tangannya
Waktu berhenti apabila kumemandangnya
Mengagumkan
Melemahkan aku melihat tatap matanya


***


Tangan pria itu menari diatas kanvas, memberi goresan-goresan halus pada sesuatu yang tadinya berwarna putih gading. Sesekali ia tersenyum pada lukisannya, berdecak kagum pada apa yang hampir ia selesaikan. Kadang pula ia menerawang, matanya menatap langit-langit ruang minim cahaya yang ia sebut studio lukis di rumahnya yang tak seberapa besar.

Sebentar ia terkekeh, tangannya sedikit mengambang di udara mengikuti garis wajah lukisan dalam kanvas. Seorang gadis jelita menawan mata, Cinta. Gadis terelok yang pernah Tuhan ciptakan untuknya, bahkan mungkin untuk semua pria di muka bumi. Cinta jelita. Entah ini lukisan keberapa yang ia buat untuk Cinta yang selalu merajuk manja untuk dilukis dalam berbagai irama. Meminta si pria untuk mengabadikan setiap lakunya, senyumnya, pejam matanya di atas bantal putih, lambai tangannya di udara, atau basah rambutnya sehabis mandi. Entah lukisan keberapa, ia tak peduli, ia bersumpah akan terus melukis Cinta hingga mati.

Kali ini kuasnya sampai pada jemari Cinta. Jemari lentik yang selalu Cinta sisipkan di sela rambut pria yang lebih sering dibilang acak-acakan itu. Jemari itu juga yang selalu ia genggam saat malam sudah kelewat pekat. Satu per satu di lukisnya jemari Cinta dengan hati-hati, tak ingin membuat cacat walau setitik pada lukisannya.

Cinta...


Cinta...


Cinta...


Berulang-ulang sampai hampir usang ia menyebut nama kekasihnya. Kali ini senyumnya pongah diikuti dengan badannya yang perlahan duduk tegak, setelah hampir empat jam kelelahan membungkuk dan mendekatkan mata pada kanvas, demi melihat setiap detail wajah Cinta. Siapa bakal habis pikir, melihat pria yang dibilang bujang lapuk dengan penampilan yang lebih sering minus dan penghasilan yang nyaris tak ada mampu menawan hati seorang Cinta. Cinta yang sempurna, bahkan diantara ketidaksempurnaan paling manusiawi sekalipun, Cinta tetap yang paling tak punya cela.

Pria-pria bangsawan dengan wajah rupawan dan mobil berkilau menawan sekalipun belum tentu mampu meraih Cinta. Membuat Cinta sekadar menoleh pada merekapun menjadi sebuah pekerjaan yang luar biasa pelik. Cinta terlalu sederhana untuk mereka yang menyandarkan segala kerumitan hati pada materi, sepertinya. Cinta memilih diam pada jiwa yang menafkahinya dengan rindu, dengan pelukan tergesa yang menenangkan, juga kecup tanpa paksaan yang memabukkan. Cinta selalu punya caranya sendiri untuk memilih pria yang akan ia cintai.

Pria dengan kuas di tangan, kaus belel penuh cipratan cat minyak yang lebih sering berkubang dalam ruang sempitnya ketimbang bekerja mencari sedikit rupiah ini yang menjadi pilihan Cinta. Perawan jelita tanpa cela. Sedangkan pria-pria adiwangsa memperebutkan jalan menuju Cinta, ia tetap tak bergeming. Cinta yang jelita, Cinta yang senyumnya bagai candu duniawi, yang langkahnya membuat jejak surgawi, yang tatap matanya melemahkan hati. Cinta yang lagi-lagi kini dilukisnya tanpa jenuh, tanpa mengeluh.

Sedikit lagi pria itu menyelesaikan karya cantiknya, sedikit lagi Cinta akan kembali melihatnya. Pria itu yakin Cinta akan sangat senang menerima satu lagi lukisan, Cinta tak pernah menerima hadiahnya dengan wajah muram, ia selalu tersenyum elok mengagumkan.

Garis-garis hitam ia tegaskan pada lukisannya, membingkai wajah Cinta dengan rambut panjang tergerai yang tertiup angin sore. Senyumnya mengembang diantara pipi yang bersemu malu. Kaki-kaki jenjangnya menghempas pasir. Jemarinya yang sedikit basah sedang menangkap angin. Aahh...apa yang kurang dari sosok Cinta, ia terlalu sempurna. Bahkan kecantikannyapun tetap menyilaukan walau dalam temaram senja.

Cinta... ia tak pernah henti memesona setiap pria terutama si pria pelukis. Tak ada hari yang ia lewatkan tanpa Cinta, meski hanya di rumahnya yang berantakan, di studio lukisnya yang pengap, atau di kamar dengan dipan yang kehabisan kapuk. Cinta selalu ada di dapur yang jarang mengepul, juga di teras tanpa halaman sambil menanti senja. Cinta selalu menemaninya, hampir setiap waktu. Tertawa atau menangis, kenyang atau lapar, terjaga bahkan tidur. Cinta yang diimpikan semua pria, malah rela menghabiskan sisa usianya bersama pelukis tak laku tanpa masa depan secerah langit pagi. Cinta tetap di sana.

Diusapnya peluh di dahi sambil menghela nafas, puas. Lukisan itu usai dirampungkan. Tinggal membubuhkan tandatangan dan sedikit pesan cinta di ujung bawah lukisan. Sejenak tangan kirinya mencari tombol on pada radio sedang yang kanan kembali mengusap peluh. Suara gemirisik terdengar sebelum tepat sebuah request seorang pendengar diputarkan.

"Khayalan ini setinggi-tingginya 
Seindah-indahnya
Tempat ku memikirkannya"


Diam. Pria itu menoleh pada radio usang di balik punggungnya.

"Lagu ini..." Ia bergumam. Khayalankah?

Bergantian dipandanginya lukisan Cinta dalam senja dan radio abu-abunya. Matanya mengerjap-kerjap, mozaik-mozaik yang tercecer di otaknya mulai tersusun lebih rapi.

"Cinta? Cinta?!" Sambil sedikit berteriak ia melotot pada lukisan yang baru saja ia selesaikan. Dipegangnya setiap ujung kanvas yang tak lagi putih gading itu, diguncang-guncangkannya sambil berharap ada sesuatu yang fantastis terjadi. Hening. Hanya ada ia dan puluhan lukisan Cinta dalam ruangan yang diam tak bersuara.

Kali ini ia pandagi cermin di retak di sudut ruangan. Dirinya masih sama, berkaus lusuh dengan percik cat minyak murahan disana sini, wajah yang tak terawat dan rambut acak-acakan. Dirogohnya kantong saku celananya yang berwarna pudar, kosong, tak ada uang sepeserpun. Perutnya keroncongan lapar. Dipegangnya perut yang mulai berontak meminta nasi barang sesuap sembari lamat-lamat menatap lukisan Cinta.

"Ahh... Cinta... Kapan kau akan keluar dari dalam sana? Kapan kau akan jadi nyata?"

"Bila ku dapat ku simpan wajahnya
Memegang indahnya
Berpura memilikinya"


"Cinta... Bisakah kau tak hanya sekedar lukisan?





Terinspirasi dari  sebuah lagu yang di populerkan oleh Peterpan
Khayalan Tingkat tinggi

Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

KAMU

5 comments
Kamu, senjaku...
Jingga yang kunanti diam-diam
Selayak segar jus jeruk yang tumpah di kerongkongan

Kamu, purnamaku...
Yang lingkarnya kuandaikan bola di matamu
Menatap lekat menujuku dari langit berpendar bintang

Kamu, fajarku...
Laksana sinar matahari pagi
Yang menyusup masuk lewat sela jendela kamarku
Yang hangatnya meronakan pipiku malu-malu

Kamu, gerimisku...
Pada tiap tetesnya mengalun nyanyian asmara
Tiap tetesnya; menyembunyikan air mata
Tentang rindu tiada tara

Kamu, bagiku
Semesta...



02.30 
8 Juli 2012
Saat tak mempan merayu kantuk

Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Kisah di Suatu Ketika

3 comments
Ini kisah dua purnama
Di bulan panca, hari kelima

Seorang pria pada wanita
Ditawarkannya hati untuk ditinggali
Disuguhkannya rasa agar dieja

Lalu sang wanita pada pria
Diberinya jawab dengan harap
Disajikannya jiwa untuk ditautkan
Untuk diterka
Pada ujung mana kisah ditamatkan

Antara nyata dan maya
Usai berlalu dua purnama
Sampai di bulan sapta, masih hari kelima
Kisah mereka; pria-wanita tetap bernyawa
Yang dijelma suatu ketika
Hingga kini jadi kita


5 Juli 2012
Another month has been passed

Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO