Bukan Untuk Dikomentari

2 comments
Menjelang siang dan aku duduk di sini
Di tengah ruang nuansa merah-abu abu
Lagi-lagi hanya dengan Hazelnut Float. Itu saja.
Dan seperti biasa
Dua jam ke depan bakal habis cuma dengannya

Sepuluh menit pertama dan meja ini sudah penuh
Dengan ponsel yang earphonenya tersambung ke telingaku
Dengan buku, pulpen dan spidol-spidol warna pelangi

Pelayan-pelayan disini, hafal, aku yakin
Dengan kedatanganku, sendiriku lebih seringnya
Yakin juga, mereka menganggapku aneh
Betah membuang waktu di sini hanya dengan segelas minuman lima ribu rupiah
Berlama-lama menunduk, bermain pulpen dan spidol di atas buku kumal

Kamu juga, kan?
Menyamarkan kata 'aneh', menggantinya dengan 'unik'
Hahaha..
Tak apa..
Setidaknya, kamu tahu
Sebagian yang tentang diriku, atau kamu.. juga kita..
Kulahirkan disini
Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Ini Bukan Puisi

4 comments
Jadi, anggap saja aku bertanya...

Bolehkah tanpa kata Sayang, atau Cinta?
Bagiku itu cuma jajaran huruf dalam kamus. Apa sih maknanya?
Tidak bisakah hanya dengan "Aku bahagia bersamamu"?
Ya...setidaknya aku bahagia. Sekarang.
Tidak cukupkah?

Haruskah itu disenyawa dengan genggam tanganmu yang nyata?

Dengan semua senyum juga tawa
Dengan segala yang dikisahkan lewat tengah malam.
Atau dengan pelukan juga kecup meski hanya berbatas suara.
Bahagia itu..belum cukupkah dengan begitu saja?
Setidaknya sekarang.

Aku hanya tidak usai menemukan ilustrator rasa bahagia itu
tawa, serta peluk hangat itu.
Hanya Sayang.
Yang mungkin terlafazkan bukan di malam yang tepat.


Sendiri
Menahan hujan disini.
Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Hanya Terang

1 comments
Bersama payah
Kutata remah memoar dialog kita

Bukan rinai, bukan senja, lain juga temaram
Meski sempat kukira itu serupa pemadatan mereka-mereka
Lain.

Malam memang, juga gerimis serta gelap yang niscaya
...tapi, yang kuingat, berbatas


"Kamu... masih terang-benderang."


Hanya itu...
Lalu, entah.



-dari sebuah kejutan-
Dalam percakapan seberat kapas
Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Untuk "Strawberry"... it's finally your story! :)

6 comments

Aku tau setiap manusia terlahir dengan garis kodratnya masing-masing. Aku, kamu, dia, dan siapapun yg berdiam di bumi ini tidak pernah meminta untuk jadi apa atau bagaimana saat terlahir. Memilih lahir dari rahim siapa pun tidak bisa. Sungguh, ketidakbisaan ini yang pada akhirnya menjadi pencetus seongok perbedaan. Ya, hanya seongok yang bagi sebagian besar orang ini bukan sekedar pembeda, ini...tembok penghalang.

Sepertiku, seperti pria diujung telepon sana. Kami terlahir dengan pemilihan jenis yang berbeda. Dia cukup menjadi penanggung jawab hidup seorang wanita beserta keturunannya, lengkap dengan kekuatan maskulin dan kewajiban menafkahi jiwa-jiwa yang mengabdi pada hidupnya. Sedangkan aku, Tuhan menyiapkanku untuk meneruskan DNA seorang pria yang kelak berlabel “suami”ku, menghidupi tiap generasinya dg jiwaku. Dan sebuah ketidaksengajaan mempertemukan kami diikuti dengan onggokan pembedanya, menautkan segala perasaan mengganggu yang kemudian kusebut cinta.

Tidak butuh berlama-lama bermain waktu untuk mencintai pria macam dia. Singkat saja. Dan tiba-tiba, Booom...!! Rindu yang tertuju untuknya meledak. Keinginanku untuk memonopoli tiap detik milikknya juga tak kalah mengeluarkan dentuman dahsyat. Benar-benar, It’s called Love. Sesuatu yang tidak pernah aku andaikan bersamanya.

Entah kejujuran atau kebalikannya, dia bersaksi dihadapanku, dia mencintaiku. Ah...tak perlu lagi ku papar betapa aku juga teramat jatuh cinta pada sosoknya. Pada beragam kebaikannya, kesabarannya, ketulusannya juga entah apa lagi yang Tuhan titipkan untuknya untuk menjadi sosok yang aku cintai. Aku merasa kami sama. Sama-sama mencinta. Meskipun aku tau, kesamaan kami tidak mampu mengalahkan segala pembeda yang telah menempel lebih lekat dari sekadar ari-ari kami sejak dalam kandungan. Kami berbeda, bahkan sejak sebelum dilahirkan.

Belakangan aku merasa keinginan untuk memonopolinya adalah sesuatu yang telah menjadikanku seorang pengikut dari paham egoisme. Kami tidak dilahirkan berbeda untuk menjadi sama. Kesamaan kami hanya berbatas pada cinta yang memborgol kami, tanpa kunci untuk membuka borgolnya. Locked. Selebihnya, kami berbeda. Kami bahkan tidak bisa mengeja nama Tuhan bersama-sama.  Bulan dan tahun kami pun punya nama yang berbeda. Tidak akan pernah berhasil baginya untuk membawaku berada di jalannya, begitu pula aku yang mungkin hingga bumi tidak lagi berotasipun tidak akan membuatnya bergeming dari jalan yang disiapkan Tuhan miliknya. Benar-benar aku telah menjadi pengikut paham egoisme tingkat akut karna sempat berkeinginan memonopolinya. Kami.., berbeda.

Hanya beberapa menit yang lalu, secara klasik dia menanyakan keberadaan juga keadaanku setelah berhari hari menutup akses, menutup mata atas kecanggihan teknologi komunikasi. Antara senang, lega, dan...sedikit menyesakkan. Sesak karna aku yang menghentikan secara tiba-tiba perputaran cinta kami. Jangan bayangkan kata “tiba-tiba” terkonotasi dengan “sepihak”, aku yakin dia punya pemikiran sepaham tentang penghentian putaran cinta ini. Hanya saja, mungkin memang harus ada yg mendahului penghentian ini. Tapi...mengapa harus aku? Mengapa bukan dia? Apakah memang harus aku? Dan...mengapa opsi terbaik bagi hubungan kami harus mendaratkan keputusannya di tanganku? Aku benci menjadi seperti ini. Benci menyampaikan pemilihan ini padanya. Benci harus merasakan sesak ini lebih dulu daripadanya.

Aku memang membulatkan niat untuk menhaturkan pemilihan ini. Ini yang terbaik yang akan terjadi. Hasilnya? Jangan tanya. Kecanggihan teknologi macam apapun tidak sanggup menembus eksistensinya. No messages, no call, just...nothing. Aku pikir kami akan menghadapinya dengan (jauh) berbesar hati?

Dan beberapa menit yang lalu, aku mendapati pesan singkat itu (lagi). Sekeras mungkin aku berusaha mewajarkan jawabanku. Be normal! Tapi interaksi hati ini seakan tidak kunjung mendapat ujungnya. Terus bergulir. Beberapa menit berikutnya aku mendapati deretan huruf darinya yang seakan bicara padaku, “Aku pun terluka...”

Disini semakin sesak.

Apa sakit ini adalah perkara yang aku ciptakan? Yang aku munculkan perihnya? Apa kami masih punya kesamaan? Rasa sakit yang sama mungkin. Hhh...rasa sakit itu mungkin serupa, tapi tetap saja tidak merobohkan pembeda diantara kami. Tidak akan pernah.

Entah apa yang menuntun kami untuk kembali bertemu. Aku rasa arus cinta kami masih terkoneksikan dengan amat baik, menimbulkan rindu luar biasa hebat dan menjadikan wajib bagi kami untuk setidaknya saling bergenggam tangan. Ada pucat di wajahnya. Entah karna kesakitan yang (aku rasa) kubuat, atau memang kesehatannya semacam mengalami degredasi? Entahlah...aku hanya begitu merasakan tertusuk menyakitkan di ulu hati melihatnya sepucat ini.

“I need you, still...”

Tidak taukah dia betapa aku juga membutuhkannya? Bahwa aku juga nyaris menjadikan dia candu. Semacam rokok yang harus berpasangkan kopi. Aku juga membutuhkannya lebih dari yang bisa dia perkirakan. Dia meraih jemariku, diamnya berkata seribu bahasa yang hanya dimengerti oleh hatiku. Seketika itu pun, aku tau, dia telah melepaskan. Melepaskan perasaan menyiksanya. Melepaskan rasa sakitnya. Melepaskan ketidakrelaannya.

Melepaskanku.

Tuhan memang tidak membaptiskan firman yang sama pada kami. Tidak pula menciptakan persamaan kidung untuk pujianNya. Tapi kasih kami setara langit. Seandainya pembeda ini bisa kami lebur, lalu tempa menjadi ongokan baru, tentu sudah selesai kami lakukan sejak berbulan bulan yang lalu. Tapi soal peleburan itu, Tuhan tidak menguasakannya pada kami. Dan dia, sosok kucinta ini, telah melepaskan hatinya dari pembeda diantara kami.

Dia masih menggenggam tanganku, mengatakan betapa dia juga ingin berucap jutaan maaf. Aku juga. Rasanya tak habis seluruh kata maaf didunia ini kulontarkan. Dan dia tersenyum. Semain erat menggenggam, mengamini segala yang kuputuskan untuk terjadi. Dan aku, aku menginjinkannya melepasku. Juga mengijinkan diriku melepasnya, demi Tuhanku. Tuhan kami.

Gurat pucatnya semakin sirna, terganti oleh senyum dengan lesung pipinya yang selalu menawan. Aku tau kami akan selalu bersama, dengan takaran yang berbeda dari kemarin. Dengan bentuk yang berbeda. Entah dia akan mengetahuinya atau tidak, tapi aku akan tetap membisikkan doaku untukmu. Pada Tuhanku. Dengan Caraku.


Memahami kisahmu (lagi)
28.03.2012

Semoga kali ini kamu memaknainya dengan rasa yang lebih
Kamu sudah semakin pintar menulis kan sekarang :)

Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO