Premis

6 comments
“Pernah nonton The Vow?”

“Tentang istri yang lupa kalau dia sudah menikah itu? Yang malah ingat kalau dia masih sama tunangannya yang lama?”

“Yap! Kalau 50 First Dates?”

“Ah! Aku suka itu. Soal memory loss juga kan? Drew Barrymore harus nonton video yang sama setiap dia bangun pagi supaya dia ingat apa yang sudah terjadi sepanjang hidupnya. Setiap hari.”

“Iya. Premisnya mirip, eksekusinya beda.”

“Premis itu apa?”

“Gimana, ya, jelasinnya. Jadi, premis itu punya karakter, tujuan, dan halangan. Karakter—yang karena suatu hal dia jadi sangat menginginkan sesuatu, tapi dia mendapatkan halangan saat berusaha mendapatkan tujuannya itu. Di premis yang bagus biasanya sudah kegambar pertaruhannya. Karakter biasanya—”

“Oke, oke. Stop. Teoritis banget, sih, kamu.”

“Lho, kan, tadi kamu tanya.”

“Iya, sih. Tapi, nggak perlu dijelasin segitunya juga."

Oke. Aku juga sebenarnya nggak yakin kamu bakal ingat penjelasan premis itu apa. Kamu, kan, pelupa.”

“Sembarangan! Aku, nggak sepelupa itu, tauk.”

“Yakin?”

“Yakinlah! Untuk beberapa hal, aku punya ingatan yang kuat.”

“Contohnya?"

“Mmm—aku ingat di mana terakhir kali aku naruh handphone. Ingat password email-ku. Ingat nomor telepon yang harus kuhubungi saat keadaan darurat. Eh, aku juga ingat tanggal ulang tahunmu, ya.

Kalau kapan pertama kali kita ngobrol panjang?

Itu—inget, kok. Ya—lupa, sih, pastinya kapan. Tapi aku inget.

Kalau siapa presiden ketiga Indonesia? Inget?

Kamu mulai jail, deh. Ya, pokoknya aku nggak pelupa-pelupa amat.

Oke. Kalau emang kamu punya ingatan yang bagus, aku mau minta tolong sama kamu. Kali ini serius.”

“Nantangin nih? Boleh. Apa?”

“Nanti, kalau tiba-tiba aku mengalami memory loss—entah karena apa, tolong ingatkan kalau aku pernah menjadikan kamu sebagai hal yang paling aku inginkan. Lebih dari apa pun.”




Jeruk Purut, 
28 November 2014

Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Anak Logam di Tengah Jakarta

2 comments
“Kamu tahu sebutan anak logam?”

Kamu mengerutkan kening. Tentu saja, kamu yang lahir dan besar di Jakarta tidak tahu apa itu anak logam. Kamu hidup di antara kemacetan jalan Sudirman, ujung Monas, asap knalpot dari angkot-angkot dengan sopir yang merasa jelmaan dari pembalap F1, sampai mal-mal besar yang bisa membuatmu tersesat di dalamnya.

“Jadi, kalau kamu naik kapal laut dari Banyuwangi menuju Denpasar, kamu akan ketemu sama anak-anak yang berenang di dekat kapal.”

“Berenang? Di dekat kapal? Nggak ditabrak sama kapalnya?”

Kadang,  kepolosan dan caramu bercanda membuat saya tidak bisa membedakan keduanya. “Nggaklah. Biasanya kapalnya belum jalan, atau baru jalan, jadi mereka hati-hati. Mereka nunggu penumpang kapal yang mau ngelemparin uang receh ke laut—uang logam. Kalau kamu lempar uang logam seratus rupiah, mereka akan berebut ngambilnya.”

“Tapi, kan, uangnya bakal tenggelam, gimana mereka ngambilnya?”

“Ya, mereka berenang, menyelam. Siapa cepat dia dapat. Kalau salah satu dari mereka berhasil dapat uangnya, mereka akan muncul ke permukaan dan mengangkat uangnya tinggi-tinggi, sambil senyum lebar ke penumpang yang ngelihatin mereka dari dek.”

Keningmu makin berkerut, membuat alis melengkungmu membetuk garis nyaris sejajar. “Menyelam cuma buat duit seratus perak?”

“Dulu, sih, seratus perak itu banyak. Berapa tahun yang lalu, ya? Hm—sekitar lima belas tahun lalu mungkin. Waktu itu aku masih awal-awal SD. Sekarang, aku malah nggak tahu apa anak-anak logam itu masih ada atau nggak.”

Kamu mendengus, tapi bibirmu menyunggingkan senyum. Senyum tipis yang tidak pernah tidak saya suka. “Anak logam itu seru, ya?”

Saya mengangguk. “Kamu tahu bagian paling serunya?”

Kamu melebarkan matamu. Mata yang bulat dengan warna kecokelatan. Kamu menggeleng.

“Anak-anak logam itu menyelam tanpa memakai alat bantu apa pun. Mereka bahkan nggak pakai kacamata renang. Jadi, kamu bisa bayangin gimana mereka harus membuka mata dan menahan perih karena air laut yang asin dan gimana mereka harus kuat menahan napas sampai uang logamnya ketemu. Sebelum uang logamnya jatuh makin dalam ke dasar laut.”

Bibirmu kini membuka, membentuk huruf O yang besar. “Gila. Nahan napas demi ngambil uang logam doang? Tapi, buka mata di dalam air laut juga menyakitkan, sih. Itu pasti perih banget.”

“Iya, anak-anak logam kebanyakan matanya merah. Tapi, napas mereka panjang-panjang, jangan salah. Pada bagus kalau ngaji.”

“Kamu pernah jadi anak logam?”

“Aku memang besar di daerah yang dekat laut. Tapi, menyelam, menyakiti diri sendiri untuk sesuatu yang hanya bisa kita nikmati sesaat? Duit seratus perak yang kalau dikumpulin cuma bisa buat beli Chiki atau kelereng?” Saya menggeleng. “Nggak pernah. Aku cuma pernah jadi anak pantai yang kerjanya ngumpulin kerang. Itu juga akhirnya dibuang sama Ibu, dibilang sampah.”

Kamu tertawa kecil. Tawa yang jarang sekali saya dengar terlalu berisik, lebih sering hanya senyum lebar tanpa suara.

Saya mungkin tidak pernah jadi anak logam. Tidak pernah berenang di laut, di bawah terik matahari yang membuat kulit saya hitam legam. Tapi, saya tahu bagaimana rasanya menyelam sampai ke dasar, menahan perih di mata saya, dan menahan napas yang membuat saya sesak, demi sesuatu yangsaya tahu—tidak akan pernah bisa saya miliki selamanya.

Kamu.


Banyuwangi, 
24 Oktober 2014

Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Kopi Kemasan dan Tipuan-tipuan

1 comments
Saya tidak pernah menyukai kopi.

Dan setelah mengetik kalimat itu, saya membayangkan dia berkata, “Kamu bilang kamu suka cappuccino. Jadi kamu bohong?”

Saya tidak bisa menghentikan senyum sinis saya. Membayangkan dia mengatakan hal itu adalah sesuatu yang menyebalkan untuk saya. Mungkin sama seperti kehebohan karena Sanrio yang merilis pernyataan, bahwa HelloKitty bukanlah kucing. Banyak yang merasa terkejut sekaligus tertipu. Tentu saja saya tidak peduli. Saya tidak pernah suka HelloKitty, tapi saya selalu suka kucing.

Lalu, saya akan menjawab, “Nggak bohong. Cappucino kemasan yang kubeli di minimarket itu enak. Manis. Nggak pahit kayak Mandaeling-mu.”

Dia akan balik tersenyum sinis. “Itu kopi sampah. Dan, Mandaeling itu nggak pahit. Dia punya sedikit asam.”

Saya menggeleng. “Yang kamu bilang sampah itu adalah yang banyak orang beli. Apa kamu pikir orang mau beli sampah?”

“Mereka bodoh dan mau dibodohi.”

“Jadi, kamu bilang aku bodoh?”

Tentu saja percakapan itu tidak pernah terjadi. Itu hanya ada di dalam khayalan saya. Dia dengan segala keangkuhannya tidak akan membiarkan saya bertahan dengan argumen dan kengototan  saya. Yang jelas, kalaupun saya menyukai kopi, maka itu bukan kopi yang sama dengan miliknya.

Dan, mungkin itu sebabnya, kami tidak bisa bersama lagi. 



Pasar Minggu,
30 Agustus 2014

Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Doa Untuk Hari Bersamanya

3 comments
Saya tidak pernah menyangka, awal pekan bisa terasa semenyenangkan ini.

Saya akan bertemu dia. Lagi. 

Anggap saja saya sedang hiperbola habis-habisan. Tapi, rasanya, sudah berbulan-bulan kami tidak bertemu. Rasanya sudah berbulan-bulan saya tidak melihat senyumnya. Dan, seperti sudah puluhan minggu saya tidak mendengar suaranya yang berisik. Berisik yang membuat saya rindu.

Jantungku berdegub cepat
Kaki bergetar hebat
Akankah aku ulangi merusak harinya

Ini sudah yang kesekian kalinya saya mendengar suara Duta dari earphone saya. Dan, saya belum juga bosan. Saya ingat ketika dia menyanyikan lagu ini di tengah ruangan. Dia duduk dengan kaki bersila di antara teman-temannya yang bermain gitar dan marakas.

Entah mengapa, saya tidak bisa mengalihkan pandangan saya dari wajahnya. Dari senyumnya. Dari kerutan di sudut matanya saat dia tertawa. Dari tangannya yang menepuk-nepuk lututnya. Saya tidak bisa tidak menyukai suaranya. Saya tidak bisa tidak menyukainya.

Dia sempat mendapati saya mencuri pandang ke arahnya. Dan, saya sempat luar biasa gugup setelahnya. Saya rasa saya merusak lagunya. Dia berdeham sebelum melanjutkan bait selanjutnya dari lagu itu.

Mohon, Tuhan
Untuk kali ini saja
Lancarkanlah hariku
Hariku bersamanya


Saya menekan tombol stop pada music player di ponsel saya. Perjalanan Cileungsi - Lenteng Agung masih panjang. Selain menghemat baterai, saya juga ingin benar-benar berdoa. Semoga Tuhan melancarkan hari bertemu dengannya kali ini. 

Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Tentang Patah Hati dan Sebuah Permintaan

10 comments
Kepadamu yang membaca ini,

Sesungguhnya, aku tidak tahu apa yang menggerakkan jariku untuk menulis ini untukmu. Hanya saja, aku tiba-tiba mengingat sebuah hal: tentang patah hati. Mungkin karena aku banyak mendengar cerita patah hati belakangan ini.

Seorang teman mengatakan kepadaku, patah hati memberitahunya untuk membenci orang yang sempat menemaninya selama berbulan-bulan—memasak, menonton film-film murahan yang dramatis, dan joging di pagi hari. Beberapa teman lain bilang, patah hati memberikan kelegaan yang menyenangkan. Bahwa ternyata ada orang-orang yang lebih baik menjadi teman, dan saling melempar ejekan kemudian tertawa bersama dibanding menjadi pasangan yang saling bersikap manis tetapi menyembunyikan banyak kegelisahan. Patah hati juga menyisakan kehilangan yang menyakitkan bagi sebagian orang—yang aku percaya, kehilangan adalah cara terbaik untuk menemukan. Dan, yang paling menyedihkan adalah ketika aku mendengar cerita tentang kemarahan, penyesalan, sampai rasa tidak diinginkan. Kurasa patah hati meninggalkan lebih banyak rasa dibanding jatuh cinta.

Ketika aku patah hati, aku merasa semesta seakan mengejekku. Hal-hal yang biasa kulakukan jadi terasa menyakitkan. Seperti saat aku berbelanja sabun cuci di pasar swalayan, aku jadi teringat orang yang membuatku patah hati. Padahal, kalau kau mau tahu, aku memang terbiasa berbelanja sendirian. Tapi, patah hati membuatku seakan menjadi orang paling kesepian di dunia yang menangis di tengah lorong swalayan yang berbau detergen.

Lalu aku mulai memikirkan tentang jatuh cinta.

Saat patah hati, ingatkah kau bahwa rasa sakit yang kau alami sekarang berawal dari jatuh cinta? Aku sedang mengingatnya. Dan, aku ingin mengingatkanmu tentang hal-hal ini: bahwa segala yang ingin kau lupakan sekarang, berawal dari sesuatu yang sangat tidak ingin kau tinggalkan. 

Ingatkah kau pada perasaan berdebar, merasa salah tingkah saat melihatnya bahkan dari jauh, rindu ketika pesan singkatnya tidak muncul di ponselmu, takut bahwa rambutmu berantakan dan bau sehingga membuat dia tidak suka. Perasaan-perasaan yang memunculkan pertanyaan di kepalamu: Apa Ini Cinta? 

Bagaimana dengan kencan pertama kalian? Kau berusaha membuat segalanya sempurna, bukan? Ingatkah kau pada hari ulang tahunnya? Betapa kau sibuk memikirkan kado terbaik apa yang bisa kauberikan untuk salah satu orang terbaik dalam hidupmu? Ingatkah bahwa kau dan pasanganmu pernah menghabiskan malam dengan berdebat tentang siapa yang seharusnya menutup telepon terlebih dulu—dan berakhir dengan telepon yang dibiarkan menyala sedangkan kalian berdua jatuh tertidur? Masihkah kau ingat bahwa ada berlembar-lembar puisi yang sempat kau tulis untuknya dan tentangnya? Masihkah kau ingat semua hal yang selalu ingin kau lewatkan bersamanya? Hal yang mungkin ingin kau lupakan sekarang. Aku mengingat segala hal baik tentang masa laluku. Bahwa aku tidak akan menjadi orang yang sama setelah aku mengizinkan dia masuk ke dalam hidupku adalah sesuatu yang kusadari dan belum ingin kulupakan.

Hei, kurasa kini aku tahu mengapa aku membiarkan jariku mengetik dan menulis untukmu. Bahwa setelah ingatan-ingatan yang kubagi denganmu barusan, aku ingin kau membagi milikmu denganku.

Kau mungkin adalah orang yang sangat mengenalku. Kau mungkin orang yang tahu bahwa aku adalah orang yang tidak bisa berhenti bicara—seorang teman malah mengatakan bahwa tone-ku tinggi, entah apa maksudnya. Kau mungkin seseorang yang akan memesankan segelas es teh tawar dengan banyak potongan es batu untukku ketika makan siang. Kau mungkin adalah pembaca blog yang selalu meninggalkan komentar dan mengatakan bahwa tulisan di sarang kupu-kupu ini manis.

Atau mungkin, kau adalah orang yang tidak mengenalku. Dan, kau mungkin membaca ini karena seorang temanmu membagikan tautan pada status media sosialnya. Entahlah. Tapi, sungguh, siapa pun kau, aku ingin kita bisa berbagi cerita.

Aku mungkin hanya mengingatkan sedikit hal tentang jatuh cinta dan patah hati padamu. Tapi, semakin banyak aku mengetik kata-kata, semakin aku mengerti mengapa aku memilih untuk berbagi denganmu lewat tulisan. Karena aku jatuh cinta kepada tulisan. Aku jatuh cinta kepada kata-kata. Aku jatuh cinta dan aku menulis. Aku sempat merasa senang sekali ketika menyelesaikan sebuah cerita pendek yang kutulis semalaman tanpa tidur. Aku pernah begitu jatuh cinta hingga jari-jariku sakit karena tidak bisa berhenti menulis; tentang jatuh cinta dan rindu, tentang harapan dan kehilangan, tentang teman-teman, tentang masa kecil dan mainan-mainan usang. Aku merasa bahwa menulis adalah sesuatu yang tidak ingin berhenti kulakukan.

Tapi, aku sedang patah hati sekarang—ya, kurasa begitu. Aku merasa sedang tidak bisa menulis—mungkin kau bisa menyebutnya: tidak ingin  menulis. Tapi, jika kau berpikir aku sudah tidak lagi jatuh cinta, maka kau salah. Sungguh, aku masih ingin terus menekan tombol-tombol di papan ketik dan membuat sebuah cerita. Aku hanya tidak dapat mengingat mengapa aku harus tetap jatuh cinta bahkan saat aku sedang patah hati dan enggan menulis. Yang aku ingat hanyalah aku menyukai menulis karena membaca.

Jadi, kepadamu yang membaca ini, siapa pun kau,

Sepertinya aku perlu meminta bantuanmu. Bisakah kau membantu mengingatkanku bahwa menulis bukanlah sesuatu yang seharusnya membuatku patah hati? Kuharap kau adalah orang yang bisa mengingatkanku alasan-alasan—yang mungkin sempat kubagi denganmu, entah kapan—agar aku kembali dan tetap menulis. Kupikir kau, yang sedang membaca ini, bisa mengingatkanku agar jatuh cinta sekali lagi kepada kegiatan menulis. 

Aku percaya, kau sampai di sini karena kau adalah orang yang juga mencintai tulisan. Kau cinta menulis. Maka, bolehkah aku meminta sebuah tulisan kepadamu? Aku suka membaca puisi, cerita pendek, dan surat. Kurasa kau bisa membuatkan satu untukku dan mem-postingnya di blog pribadimu.

Aku mungkin tidak bisa memberi banyak. Tapi, untukmu yang menyempatkan diri untuk membantuku jatuh cinta dan menulis lagi, aku bisa membagi beberapa paket buku tentang jatuh cinta dan patah hati. Kuharap kau bersedia. Oh, ya, apakah satu pekan cukup untukmu? Kupikir tidak butuh waktu lama bagi orang yang membaca ini menuliskan sesuatu yang membuatku kembali bersemangat dan melupakan patah hatiku.

Kepadamu yang kuharap mau berbagi denganku,

Aku sungguh berharap, pekan depan, aku sudah menyelesaikan membaca pesan-pesan yang kau tulis di blog pribadimu. Kau bisa mengirimkan tautan blogmu ke akun Twitter-ku. Kuharap, pekan depan, sampai tanggal 23 Agustus—dan setelah membaca tulisanmu—aku sudah bersiap untuk jatuh cinta dan menulis lagi. Dan, semoga itu karena kau.

Jadi, sampai jumpa pekan depan.


Salam hangat,

Riesna

Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Sebuah Surat Baru Untuk Waktu Yang Lama

10 comments
Kepadamu yang kujatuhi rindu,

Saya menulis surat ini bukan karena ini tanggal 14 Februari. Bukan juga karena kamu baru menelepon saya dan membuat saya tersenyum tanpa henti setelah mendengar suaramu—seperti pertama kali kamu menelepon saya dan mengatakan hal-hal yang membuat saya tertawa. Saya hanya ingin menulis, dan entahlah, saya hanya ingin kamu membaca tulisan saya—setelah berbulan-bulan saya absen menulis untukmu.

Kamu tahu, saya menulis ini di meja kantor saya—meja kantor yang baru juga ruangan baru. Mungkin kamu belum tahu, sejak Senin lalu, saya punya ruangan baru. Saya selalu bersemangat sekaligus sedih ketika itu menyangkut hal baru. Bersemangat karena saya bisa punya sesuatu yang sebelumnya tidak saya punya—dalam hal ini, kursi dengan sandaran yang lebar lengkap dengan lengannya, juga meja yang lebar, hanya untuk saya. Tetapi saya juga sedih karena harus meninggalkan meja dan kursi saya yang lama—saya sudah terlalu nyaman duduk di sana.

Saya menulis ini sambil mengingatmu. Bahwa kamu sempat jadi sesuatu yang baru untuk saya, berbulan-bulan lalu. Dan sampai sekarang, kamu tetap menjadi sesuatu yang belum pernah saya miliki sebelumnya. Puisi-puisimu, cangkir kopi, banyak cerita tentang makanan, pertandingan sepak bola kesukaanmu, sampai wangi parfummu yang melekat pada boneka pemberianmu, adalah sedikit contoh dari banyak hal baru yang saya lewati bersamamu.

Saya menulis ini sambil tersenyum dan membayangkan raut wajahmu. Saya ingin memastikan bahwa kamu adalah sesuatu yang baru yang tidak akan membuat saya sedih karena harus meninggalkan sesuatu yang lama. Kamu harus tahu, bersamamu, saya tidak merasa menyesal meninggalkan segala yang kini sudah ada di belakang saya.

Seperti meja kerja saya yang sekarang, saya tidak tahu saya akan duduk berapa lama di sini. Setahun? Dua puluh bulan? Atau hanya beberapa hari? Yang saya tahu, saya harus selalu merasa nyaman dengan apa yang saya tinggali. Saya tidak tahu saya akan bisa menemanimu untuk berapa lama. Tapi, seperti hatimu, saya akan selalu nyaman untuk tinggal lama di sana.

PS : Akhirnya saya tahu mengapa saya menulis ini. Karena saya merindukanmu, dan menulis selalu mengobati rindu saya padamu.


Salam hangat,

Riesna



Jeruk Purut
14 Februari 2014

Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO