Sebatang Pohon

1 comments
Aku merindukanmu
Sebatang pohon yang rindang

Berbagi cerita tentang segala
Menangisi malam yang ditukar pagi
Menertawakan setiap musim berganti
Panas hingga semi
Aku dan kamu ini

Aku merindukanmu
Yang mengganggu malam-malam tidurku
Dengan ranting juga daun kering
Mengetuk berisik jendela kamarku
Tapi ajaibnya...
Aku selalu mampu memaksa diri terjaga
Mendengar kisah tentangmu, tentang penebang pohon
Tentang pengagum bungamu
Tentang matahari yang menyengat
Atau rintik yg mampir di tubuhmu yang cantik
Ya...kamu selalu cantik

Sempat aku dan alpaku mengusikmu
Tak sengaja mencabut paksa bungamu yang cantik itu
Hanya sedetik setelahnya, kemudian aku menunduk lesu
Kamu...terluka, dan tak perlu aku tanya
Aku sudah terlalu mengenal kamu siapa

Ulang, kusambangi sebatang pohonku yang tercantik
Membawakanmu sebingkis maaf
Entah terbayar entah tidak

Sayangnya...
Bunga itu tak kunjung menuai semi
Kamu seperti tak melirik ke arahku sini

Sekali...
Dua kali...
Lalu aku berhenti
Ah...kamu masih begitu murka, mungkin

Lalu kuputuskan untuk menunggumu
Melewati musim gugur
Menanti musim semi
Berharap ada kuncup-kuncup yang merekah dengan sudi
Sambil terus mencuri pandang kearahmu
Memastikan kamu baik-baik saja tanpa gangguanku

Oh iya... aku selalu menitipkan salam pada Tuhan
Lewat hembus angin
Noktah-noktah gerimis
Juga hangat matahari pagi
Semoga sampai padamu

Nanti, jika bunga itu merekah merah lagi
Tolong beri tahu aku
Ketuk saja jendela kacaku di malam hari
Dengan ranting atau daun kering

Aku merindukanmu sebatang pohon yang rindang
Aku merindukan berteduh di bawahmu
Hingga tertidur



I miss you a lot, I do
June, 25th 2012

Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Surat Untuk Ayah

10 comments
Dear, Ayah...

Selamat pagi, Ayah. Apa kabar? Ayah sehat kan? Maaf ya aku mengganggu waktu bekerja Ayah, padahal ini hari Senin. Ayah pasti sedang sibuk, ya? Aku cuma ingin berbagi cerita pada Ayah, sekali-kali boleh kan, Yah? Setiap hari aku cuma main bersama Ibu. Ibu sering menceritakan banyak hal padaku. Kebanyakan sih tentang Ayah, yang cuma bisa kukenal lewat cerita-cerita Ibu. Aku juga ingin lebih mengenal Ayah, itulah mengapa aku menulis surat ini. Semoga Ayah tidak bosan membacanya, ya.

Ayah...
Asal Ayah tahu, aku dan Ibu selalu menghabiskan waktu berdua. Tidak pernah sedetikpun Ibu meninggalkanku. Aku selalu ada di dekat Ibu saat Ibu berdoa pada Tuhan. Berlarian di sekitar dapur ketika Ibu memasak ayam goreng kesukaanku. Aku juga selalu menempel pada Ibu saat Ayah menelepon, mendengarkan suara Ayah yang belum pernah kutemui. Aku suka mendengar suara Ayah. Tapi maaf ya, Yah, aku tidak pernah bisa ikut berbicara pada Ayah.

Yah...tidak tahukah Ayah betapa Ibu merindukan Ayah? Kurasa Ibu sangat ingin bertemu Ayah. Tidak tahukah Ayah, di setiap telepon Ayah, Ibu selalu menyimak segala yang Ayah kisahkan. Mendengarkan dengan seksama seakan-akan Ayah berbicara di hadapan Ibu. Tidak tahukah, bahwa Ibu selalu menyusupkan senyum, yang tak pernah Ayah lihat.
Sambil memelukku...

Ayah yang kusayang...
Aku mungkin belum memahami mengapa Ayah tidak kunjung bertemu Ibu. Mengapa hanya ada aku dan Ibu di sini. Tanpa Ayah. Tapi yang aku mengerti, Ibu selalu menyayangi Ayah. Menyebut nama Ayah dalam setiap doanya di tiap-tiap malam. Bahkan ada saat-saat dimana Ibu menahan tangis karena keinginan bertemu Ayah yang kadang tidak Ibu sampaikan. Apa Ayah tidak ingin bertemu Ibu?

Ibu bilang, Ayah suka puisi. Pernah pada beberapa malam aku mendapati Ibu menuliskan sesuatu di bukunya. Katanya itu puisi buat Ayah. Aku tidak begitu mengerti isi puisi Ibu, yang aku tahu puisi-puisi Ibu adalah sebentuk cinta untuk Ayah. Dan Ayah selalu suka puisi-puisi yang ditulis Ibu, kan? Kata Ibu, Ayah mungkin tidak akan menyukai Ibu kalau saja Ibu tidak bisa menulis. Jadi mulai sekarang aku akan belajar menulis puisi seperti Ibu, untuk kemudian kukirimkan kepada Ayah. 
Aku juga ingin jadi anak yang disukai Ayah.


Ayah...
Ibu sempat bilang padaku, Ibu takut kehilangan Ayah. Takut Ayah selingkuh. Memangnya selingkuh itu apa sih, Yah? Kata Ibu, selingkuh itu berarti Ayah jalan-jalan bersama seorang Tante yang tidak kukenal dan berbohong pada Ibu. Begitukah, Yah? Ehm...kalau begitu, jangan berbohong pada Ibu ya, Ayah. Jangan selingkuh. Nanti kita jalan-jalan bertiga saja, aku, Ayah dan Ibu. 

Kata Ibu, saat ini Ayah ada di tempat yang jauh dari kami. Di tempat Ayah sana, banyak Tante cantik yang mungkin selalu mengajak Ayah bermain. Seperti Ibu mengajakku bermain. Ibu takut, Yah. Takut kalau Ayah akan melupakan Ibu dan aku. Tante yang di sana kan lebih cantik dari Ibu. Apa iya, Yah? Padahal  menurutku Ibu sudah cantik, meskipun dengan celemek masaknya yang agak kotor terkena cipratan minyak. Tapi Ibu bisa membuat masakan yang enak-enak. Memang Tante yang di sana bisa memasak seperti Ibu?

Ayah yang kurindukan...
Aku ingin sekali mengobrol dengan Ayah. Ingin mendengar cerita Ayah tentang Ibu. Apakah cinta Ayah pada Ibu seperti cinta Ibu pada Ayah? Soalnya, di setiap telepon Ayah pada Ibu yang selalu ku curi dengar, Ayah tidak pernah bilang bahwa Ayah menyayangi Ibu, atau merindukan Ibu. Pernah sih aku mendengar kata rindu dari Ayah untuk Ibu, tapi rasanya sudah lama. Akhir-akhir ini sepertinya sudah tidak pernah lagi. Padahal aku sering melihat Ibu mendoakan Ayah. Itu tandanya Ibu mencintai Ayah, kan? Ibu selalu berbicara pada Tuhan, meminta agar Tuhan menjaga Ayah supaya Ayah bisa segera bertemu denganku. 

Ayah...
Sebenarnya semalam, tanpa sepengetahuan Ibu, aku mengintip buku Ibu. Di lembar terakhirnya, aku membaca sebait tulisan Ibu, sepertinya bukan puisi, tapi aku ingin Ayah juga ikut membacanya. Dalam tulisannya Ibu berkata,

"Kepada kamu, pria yang kucintai...
Aku mulai takut kamu tidak sungguh-sungguh bahagia bersamaku. Aku mulai takut rindu itu semakin terkikis karena pertemuan kita yang tidak kunjung terlunasi."

Ibu takut ya, Yah? Takut Ayah tidak bahagia, memangnya begitu?
Ayah... ada bekas tetesan air mata di buku Ibu. Mungkin Ibu sedih, Yah. Ibu sangat merindukan Ayah sepertinya. Aku juga.

Saat aku mundur satu halaman kebelakang, aku menemukan tulisan Ibu lagi, yang kurasa harus Ayah baca.

"Pria yang kurindu...
Jika kamu menemukan wanita lain di sana yang bisa menawan hatimu lebih dari padaku. Tak apa. Jangan merasa bersalah karena (mungkin) kamu akan membohongiku. Sungguh aku tak apa. Jangan melarang dirimu untuk tidak bersama wanita lain yang candunya lebih memikat dari padaku. Kalaupun wanita seperti itu muncul dihadapanmu, sambut saja dia. 
Dan jika kamu memang tak ingin bersamanya, aku harap bukan karena (bagimu) aku terlalu baik. Tapi karena kamu mencintaiku. Bukan karena alasan lain."

Ayah...
Aku mulai menemukan banyak pertanyaan berputar di kepalaku. Apa Ayah tidak bahagia bersama Ibu? Apa tidak cukup bagi Ayah memiliki Ibu yang begitu menyayangi Ayah. Mencintai Ayah. Tidakkah Ayah merindukan Ibu seperti Ibu rindu Ayah? Tidakkah Ayah menyanyangi Ibu seperti Ibu yang selalu menyayangi Ayah. Ayah suka puisi-puisi Ibu kan? Kalau saja Ibu tidak bisa menulis, apakah dulu Ayah akan menyukai Ibu? Bagaimana jika Ibu berhenti menulis sekarang? Apa Ayah akan memilih untuk tidak bersama Ibu lagi? Jika Ibu tidak menjadi wanita yang baik pada Ayah, apa Ayah akan bersama Tante yang ada di sana? Yang lebih cantik dari Ibu. 

Maaf ya Ayah..
Aku mulai bawel, menanyakan hal yang mungkin tidak akan Ayah berikan jawabannya untukku. Aku hanya tidak ingin melihat Ibu bersedih. Aku tidak mau melihat Ibu menangis karena takut kehilangan Ayah. 

Ayah...
Boleh aku meminta sesuatu? Kali ini aku tidak akan meminta Hot Wheels, kok. Aku juga tidak meminta Jersey. Aku cuma minta, maukah Ayah menelpon Ibu? Sekarang. Katakan Bahwa Ayah menyayangi Ibu. Merindukan Ibu. Bahwa Ayah bahagia bersama Ibu, meskipun belum waktunya untuk Ayah dan Ibu bertemu. Katakan bahwa Ibu tidak perlu takut akan apapun. Yakinkan saja Ibu, bahwa hati Ayah selalu Ayah titipkan pada Ibu. Bahwa Ayah juga ingin segera bertemu denganku. Jagoan Ayah. Juga calon puteri kesayangan Ayah, calon Adikku.
Aku rasa itu akan membuat Ibu lebih tenang.

Aku tidak tahu apakah Ayah akan mengabulkan permintaanku atau tidak. Aku akan berdoa pada Tuhan saja, semoga Tuhan menyampaikan pada Ayah agar Ayah meluluskan permintaanku. 

Oh ya, Ayah. Jangan bilang pada Ibu aku menulis surat ini untuk Ayah, ya. Nanti Ibu mengomel padaku, seharusnya kan ini jam untukku belajar. Nanti jika aku sudah bisa menulis puisi seperti Ibu, aku akan mengirimkannya pada Ayah, tunggu saja ya, Yah.


Peluk cium
yang akan selalu mencintaimu


- Taras -

Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Dear Mars #2...

1 comments
Hai Mars...
Apa kabar? Boleh beritahu aku, dimana kamu mengorbit sekarang?
Aku rasa kamu masih berada jauh dari porosku, sepertinya begitu. Kalaupun kamu masih tertahan di Janubi sana, tak apa. Setidaknya kali ini bukan lagi bersama Saturnus atau Pluto, kan?

Mars...
Sungguh, aku berharap bisa menawarkan tilam untukmu menelentangkan rindu, dekat di sini. Semacam kutub lain mungkin, yang kemudian membegal pergi hatimu agar tidak lagi berlama-lama disana.
Setidaknya agar kamu semakin dekat denganku. Semakin cepat bertemu aku. Ya, begitulah.


Tertanda
-Venus-
Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Senja Di Wonokromo

5 comments
Dia bilang namanya, Na. Singkat ya. Aku memanggilnya Mbak Na. Soal siapa dia, aku sama sekali tidak tahu. Apalagi soal dia dari mana. Dia menyebutkan nama kota yang katanya ada di ujung timur pulau Jawa. Hm...memangnya timur itu mana? Aku buta arah. Tapi ya sudahlah, toh aku juga tidak akan pernah bisa melihat kota itu. Jadi, Mbak Na ini asalnya dari kota yang sangat jauh. Kira-kira sih begitu. 

Dari suaranya, Mbak Na ini pasti jago menyanyi. Dia punya suara yang bagus menurutku. Meskipun tanpa microphone, aku masih bisa mendengar jelas dia berbicara diantara bisingnya suara Kereta Api yang seliweran nyaris tanpa jeda. Membuat nyanyianku wajib kuhentikan tiba-tiba karena PPKA-nya harus menyiarkan pemberitahuan pada orang-orang yang di stasiun soal kedatangan juga pemberangkatan Kereta Api. Seringnya sih saat aku tengah asyik-asyiknya melantunkan lagu-lagu yang kata orang adalah lagu dewasa. Bukan lagu anak-anak. Bukan lagu yang pantas dinyayikan oleh anak seumuranku. Ahh...biar saja, kalau bukan lagu-lagu itu yang kunyanyikan, lalu makan malamku nanti kubeli dengan uang yang mana?

Baru beberapa menit yang lalu, Mbak Na bertanya padaku, pertanyaan klasik, pertanyaan yang umum dialamatkan pada seorang anak sepertiku. Soal sekolah. Kubilang saja aku sudah lulus SD. Ya, aku baru lulus Sekolah Dasar beberapa bulan yang lalu. Perkara melanjutkan ke SMP atau tidak, rasanya aku sudah tidak begitu memperdulikannya lagi. Sebenarnya aku mau saja melanjutkan sekolah. Hanya saja, aku punya dua pertanyaan besar yang jawabannya kutuntut bisa memuaskan diriku. Pertama, uang dari mana? Kedua, sekolah yang mana? Itu saja. Dan jawabannya? Belum kudapatkan.

Aku tadi bilang, bahwa semasa SD, aku selalu masuk peringkat tiga besar. Kata Mbak Na berarti aku anak yang pintar. Hehe. Begitu ya? Dia bilang aku seharusnya bisa melanjutkan sekolah. Sayang, katanya. Ahh... Mbak Na ini, hidupku kan tidak semudah itu. Lagipula, aku suka menyanyi, sangat suka. Aku tidak akan bosan menyanyi di sini. Meskipun di sini berisik, bising, juga kadang ada gaduh suara orang-orang lalu lalang, tapi aku suka menyanyi di tempat ini. Dan karena aku tidak bisa lagi untuk sekedar belajar di sekolah, jadi lebih baik aku belajar menyanyi saja di sini. Kata Mbak Na kan suaraku bagus, ya?

Lagi-lagi suara menderu Kereta Api datang menginterupsi obrolan kami, tapi tetap, suara Mbak Na bisa aku dengar dengan jelas. Suara merdu lain yang mampir di telingaku setelah kedua Ibuku. Mbak Na sempat heran, bagaimana bisa aku punya dua Ibu. Kubilang saja mereka bukan Ibu kandungku. Ibu yang melahirkanku sudah meninggal dunia.

Ada hening sejenak setelah itu. Mungkin Mbak Na merasa kasihan ya? Lalu Mbak Na bertanya lagi soal Ayahku. Dia kira Ayah menikah lagi dengan salah satu Ibu angkatku ini. Bukan. Ayahku yang itu, yang tadi memainkan Orgen itu, dia juga bukan Ayah kandungku. Ayah kandungku juga sudah meninggal dunia. Aku sudah tidak punya orang tua kandung. Aku yakin, pasti Mbak Na ini sedang kasihan padaku lengkap dengan tatapan penuh iba juga, sama seperti orang-orang kebanyakan. Apalagi saat akhirnya Mbak Na sampai pada pertanyaan tentang di mana aku tinggal.

Sebenarnya ada sebuah rumah yang dulu kutinggali bersama kedua orang tua kandungku di Porong, tapi itu sudah lama sekali. Sekarang katanya rumah itu sudah tidak lagi ada. Tapi itu bukan karena kedua orang tuaku sudah tidak tinggal di sana lagi. Orang-orang bilang, rumahku jadi salah satu yang terendam lumpur Lapindo. Aku saja sampai sekarang tidak tahu lumpur Lapindo itu seperti apa. Yang aku tahu, lumpur itu adalah semacam air bercampur tanah kental kasar yang tergenang di jalan bekas hujan yang membuat kakiku kotor waktu tidak sengaja menginjaknya. Memangnya sebanyak apa sih lumpur Lapindo itu, sampai bisa menenggelamkan rumahku? Padahal itu satu-satunya monumen kenangan tentang keluargaku. Meskipun aku tidak bisa benar-benar melihatnya, setidaknya jika rumah itu masih ada, aku bisa berdiam di sana. Mencium wangi khas rumah tempatku menghabiskan masa balita, dan mendengarkan suara-suara Ayah dan Ibu dalam ingatanku.

Aku sebenarnya ingin sekali melihat raut wajah Mbak Na. Seperti apa ya orangnya. Apa dia cantik? Tinggi? Baju apa yang dia pakai? Apa dia sedang tersenyum sekarang? Mengapa tiba-tiba dia diam? Pasti dia lagi-lagi sedang merasa kasihan padaku. Begitukah? Seperti apa ya Mbak yang ada di dekatku ini? Tapi ya sudahlah, mengobrol dengannya saja sudah cukup menyenangkan buatku. Nyaris tidak pernah aku diajak mengobrol dengan siapapun yang sekedar mampir di Stasiun ini, jadi kunikmati saja obrolan kami.

Sempat kuajak dia bernyanyi tadi, tapi dia malah balik bertanya, kalau saja mungkin aku bisa menyanyikan lagu berbahasa Inggris. Sayangnya aku belum bisa, aku kesulitan menemukan cara menghafal lagu-lagu selain yang berbahasa Indonesia. Memang bagaimana caranya? Yang paling mungkin adalah dengan mendengarkan seseorang membacakan lirik lagunya pelan-pelan, lalu membiarkan otakku bekerja keras menghafalkan tiap kata-nya sedikit demi sedikit. Ahh...susah. Tapi barusan aku berjanji, suatu saat aku akan menghafal setidaknya satu lagu berbahasa Inggris dan akan kunyanyikan bersama Mbak Na, jika nanti dia kembali ke sini.

Mbak Na sempat bertanya lagi, pertanyaan yang kebanyakan orang tidak memberikannya padaku.

"Suatu saat nanti, kalau Mbak datang ke sini lagi, entah kapan. Apakah kamu masih akan mengingat Mbak? Mengingat suara Mbak?"

Kira-kira begitu pertanyaannya. Aku tersenyum, lebar. Sangat Lebar. Dengan keyakinan seribu persen aku mengangguk. Ya. Aku pasti akan mengingatnya, mengingat suaranya. Memangnya bagaimana lagi aku mengenali seseorang kalau bukan dari suaranya? Itu satu-satunya caraku menghafal nama orang-orang yang kukenal, aku kan tidak bisa mengingat mereka dari wajahnya. Kukatakan padanya, aku pasti akan mengenalinya. Dan kami pasti akan bertemu lagi, asalkan dia datang di waktu seperti sekarang ini, sebelum jam lima sore. Sebelum senja menjadi terlalu orange. Ya kan? Warna senja itu orange kan? Ya..seperti itulah mungkin. Pokoknya sebelum senja habis, aku masih dan akan selalu ada di sudut Stasiun Wonokromo ini, menyanyi.

Aku percaya suatu saat nanti kami akan kembali mengobrol seperti ini. Kupastikan aku tidak akan melupakan suara Mbak Na. Dan...Mbak Na, jangan lupa ya. Namaku, Wiwin.


 


Wonokromo, Februari,  2012
Someday, we'll sing together
Promise me


*PPKA : Pimpinan Pemberangkatan Kereta Api

Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Masih(kah) Menjadi Kejutan

2 comments
Sempat..
Kamu bilang, Kejutan itu Aku

Kejutan,
Karena menemukan renyah dari suara di ujung telepon sana
Karena mampu mengganyang enam puluh menit dikali lima
Pada dialog pertama aku-kamu
Yang harusnya cukup hanya jadi preambule

Kejutan,
Karena sajak yang ku muarakan padamu seketika menerbitkan hening
Karena kidung asmara yang kita nyanyikan, selalu tersudahi
Dengan simpul senyum yang akhirnya memburai jadi tawa tergelak

Kejutan,
Yang dalam beberapa menit setelahnya
Membuat kata-mu mengawan
Karena aku dan sendiriku, perjalananku, juga segala yang hanya aku

Kejutan itu Aku...
Masih ada (kan) ?


"satu jam harusnya lebih  dari 60 menit"
tiba-tiba teringat itu

Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Caraku Mencintamu

2 comments
Kali ini...
Dengan cara yang tidak kau mengerti
Yang bagimu belum teramat
Yang masih tertahan, katamu semalam

Dengan cara yang ku punya, sendiri
Dengan takaran yang aku, milikku
Yang mungkin belum disenyawa kecapmu

Dengan cara yang tidak kau mengerti
Yang anggapmu terlalu dini
Yang bagiku caraku
Bukan tentang prematurnya yang sangat

Ya...
Dengan cara itu...
Aku mencintaimu




Ahh..lupakan saja
it's been a month, dear..
I miss you

Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO