Obat

Pagi. Rasanya aku lupa sudah hari keberapa. Menurut kalender, ini masih minggu pertama bulan sepuluh. Menurutku ini sama saja dengan minggu pertama menuju ketidak warasan pikiranku setelah berhari-hari tidak melakukan apa-apa kecuali memproduksi air mata, dan bergulat dengan seprei, bantal dan guling yang terus berpindah tempat. Minggu pertama ini benar-benar menyeretku pada masa menyebalkan yang belum kutemukan cara melewatinya. Jika aku dianggap sakit, maka aku butuh obat. Mana obat? Tolong apa saja hentikan air asin yang terus mengaliri pipiku ini. Entahlah dimana, tapi obat penyembuhku tidak ada disini. Aku rasa.

Aku mencoba menekan tombol-tombol ponselku tanpa tujuan. Tidak untuk main game, tidak untuk menghabiskan pulsa bertelfon dengan seseorang, tidak untuk apapun. Aku hanya butuh kegiatan kecil untuk memindahkan onggokan kesedihan dari sudut pikirku ke sudut lain. Tidak tega dan tidak punya cadangan ponsel lain menjadi alasanku untuk melemparnya ke atas tempat tidur, bukan di lantai. Aku bisa semakin tidak waras jika ponsel ini sampai hancur kubanting. Tidak lebih dari empat detik setelah kulempar seenaknya, ponsel itu mengeluarkan getaran mengganggu. Getaran yang lebih seperti suara lebah mendengung tanpa ringtone. Malas. Kubiarkan saja dengungan itu hingga berhenti dengan sendirinya.

Baru saja memutuskan untuk mengistirahatkan kelopak mataku, dengungan itu kembali datang. Kali ini lebih pendek. Sebal. Kucari muasal dengungan mengganggu itu yang ternyata berada diantara bed cover yang semrawut.

1 missed call

1 message received

Aku yakin aku melongo saat menyadari dengungan panjang yang kuanggap mengganggu tadi adalah obatku. Ya...obat penghenti air mata sialan ini. Hatiku mencelos. Sial. Kusesali aksi mogok memegang ponsel tadi, kusesali lemparan ke arah tempat tidur lembab air mata tadi. Sial. Sial. Apa aku harus menelpon balik? Baiklah, aku rasa tidak akan ada produksi air mata lagi untuk beberapa jam kedepan. Producting akan diganti dengan Confusing dan Deciding. Bingung memutuskan. Haruskah ku telpon balik? Siapa tau aku bisa minta obatku di-delivery seperti makanan cepat saji di jalan protokol sana.

Shit. Masih ada 1 message received. Siapa tau dari sumber yang sama. Cepat-cepat kubuka pesan masuk itu dengan dada berdegub dan harapan membumbung. Come on, it has to be my medicine. It has to!

Lagi apa kamu? Sibuk?
You know... I’m home! Hehe
Lunch? Today?

Yes! Benar-benar penyembuhku! Membacanya saja sudah sangat mengurangi kesakit-jiwaanku. Tangisan-tangisan bodoh beberapa hari kebelakang sudah tak lagi aku gubris. Aku tau obat penyembuhku akan datang, I know it! Dia hanya menyiksaku beberapa waktu dengan rindu yang tak habis. Menyiksaku dengan kangen yang dia pasung. No message, no call. Dia benar-benar membuatku nyaris gila.

Confirmed. Lunch today!

Dengan cepat kususun kalimat singkat membalas pesannya. Aku harus tetap cool. Es. Es! Mana es?! Aku harus kompres mata bengkakku ini sebelum matahari meninggi. Harus.

*** *** *** *** ***

Aku ingin jadi merah-biru-putihmu. Dia selalu jadi yang kau pilih menemanimu kapan saja. Kenapa bukan aku?

Huft...seandainya aku keluar dari box kubus berjenis kamar itu sejak minimal kemarin. Penampilanku bisa jauh lebih oke dari sekarang. Tapi sudahlah. Setidaknya aku mendapatkan obatku siang ini. Dengan berpadu cerah matahari dan segelas Cappucino Ice Blended, dengan kamu dan merah-biru-putih didepanku, dengan asap rokok dari ujung jemarimu, juga kemeja kotak-kotak diatas kaus gelapmu. I’m healed.

“Jadiii....ada kabar baik apa?”

Graduation. Next month.” Senyumnya mengembang. Ini juga salah satu penyembuhku. Obatku.

“Wow... asik!” Apapun itu, yang membuatnya tersenyum harus membuatku melakukan hal yang sama juga.

“Aku bakal lama nih disini. Yaa...kira-kira sampai 2 minggu menjelang Graduation. Ehm...itu termasuk berita baik bukan?”

Pertanyaan bodoh. Ini berita terbaik! Ini obatku paling mujarab. Kamu.
Keberadaanmu disini sama dengan melewati beberapa angka berwarna merah di kalender. Seperti skenario film, aku sudah menyusun banyak adegan dalam daya khayalku. Akan ada dia, disini, bersamaku. Tentu saja bersamaku! Bisa lihat taman kota disana? Akan kuajak kamu mengingat memori masa kecil kita. Tentang permainan pancing ikan, tentang ayunan di sudut taman, tentang pelontar karet yang menerbangkan bambu kecil ke angkasa, tentang...semuanya. Atau kudapan lezat malam hari di pinggir jalan sana. Aku yakin kamu akan suka. Atau tentang lampu-lampu pantai yang kamu suka hembus anginnya. Atau...apa saja lah. Bersamamu. Obatku.

“Kamu ini, suka banget jalan-jalan.” Kali ini dia memberikan tawa kecil. “Sama kayak Nora.” Lanjutnya sambil menyeruput Espresso dari cangkir hitam kecil dihadapannya.

Mencelos.

 “Hehe..iya.” Kali ini kujawab singkat lalu diam. “Kamu pasti sangat mencintai Nora.” Kumainkan sedotan hitam dalam Cappucino Ice-ku tanpa melihat kearahnya. Rasanya obat ini tidak semujarab yang aku kira. Sigh.

Tanpa jawaban dari mulutnya, jemarinya menyentuh daguku, menggiringnya sekaligus tatapan mataku yang tetap berusaha tidak menoleh.  Sudah. Jangan suap aku dengan senyuman itu! Jangan sogok aku dengan sentuhanmu yang menenangkan ini. Rasanya air mataku ingin keluar lagi.

“Aku sayang kamu, Len...” Ujarnya pelan-pelan, mungkin berusaha agar aku mendengarnya, meresapinya. Aku masih diam. Hanya saja kali ini kupaksakan tersenyum. Kata-katanya lima menit yang lalu menjadi penyembuh tersendiri bagiku. Aku rasa aku harus memohon pada mata ini agar tidak menangis siang ini. Make-up yang susah payah kubuat menutupi lingkaran sembab disini akan luntur, jadi jangan rusak siang ini.

Jemarinya kali ini menyentuh pipiku. Gerak bibirnya memerintahku untuk menghabiskan Cappucino Iceku lalu berpindah tempat dari sini. Setidaknya hingga bulan berganti besok, dia akan disini. Setidaknya obatku punya cukup dosis hingga bulan sebelas. Bagiku, itu sudah cukup. Semoga aku tidak kecanduan obat-obatan. Kecanduan kamu.


“L”
Oktober 2010
Kembalinya Hadirmu

Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

0 Response to "Obat"

Post a Comment