Time to Work..(?)

Setiap anak kecil selalu punya ide ajaib untuk dijadikan cita-cita, belasan tahun yang lalu, aku menjadi salah satu dari mereka. Dulu, aku bercita-cita untuk menjadi Polwan, sempat pula ingin jadi pemain bulu tangkis. Seingatku, saat aku SD kira-kira, entah ingin jadi apa, tapi aku ingin bekerja di Boscha, buat apa lagi kalau bukan melihat bintang. Haha. Lalu berubah menjadi Tenaga Ahli yang bekerja di LIPI. Kemudian, saat aku mulai bertranformasi dari sekedar gadis menjadi wanita, aku dan seorang sahabatku bercita-cita untuk menjadi seorang dosen di Universitas yang sama, tempat kami kuliah.

Tapi kemudian, here I am. Diam drumah, bangun pagi-pagi buta dan menulis untuk blog-ku. Katakan aku aku jobless, tapi aku masih menunggu pekerjaan yang tepat. Bukankah semua orang begit?. Dan ngomong-ngomong soal pekerjaan yang tepat, ada beberapa hal yang membuatku sedikit galau. Di daerah manakah aku harus bekerja?

Lagi-lagi aku belajar dari pengalaman-pengalaman yang sudah dan sedang dirasakan oleh beberapa teman dan sahabat. Sebagian dari diriku bisa dibilang sangat-sangat-sangat menginginkan untuk bekerja di sini, di tempatku berdiam sekarang. Memang bukan tempatku dilahirkan, tapi tempatku belajar menjadi dewasa. Kenapa? Entahlah. Kadang jawabanku bisa terbantah oleh orang lain, tapi aku ingin disini, dekat dengan keluargaku, disinilah keluargaku, tempatku inilah keluargaku. Dan tempaku inilah, tempat tujuan sahabat-sahabatku pulang. Pemikiran kedua, hemat beib. Dengan bekerja di instansi yang sama di berbagai tempat, dengan gaji yang sama pula, I’ll save much more money, won’t I? Anggap saja aku punya gaji 3juta (rata-rata gaji teman-temanku), dan aku bekerja di kota besar yang sangat menunjang gaya hidup hedonisme-ku. Bisa dipastikan, gajiku akan ludes dalam sepersekian hari. Dipotong biaya makan, uang kost, dan kebutuhan-kebutuhan tidak terduga yang lain.


Seorang sahabat sempat menanamkan hipotesanya tentang tempat bekerja impian. Jauh dari orang tua. Mandiri. Menata keuangan dengan segala keruwetannya, makan, kos, belanja, laundry, dan lain-lain lagi. Juga pengalaman katanya. Seperti Destiny’s Child, Independent Woman. Dan sebagian dari diriku yang lain juga sangat menginginkan menjadi seperti itu. Keluar dari kota kecil tanpa XXI, tanpa Mall semacam PIM, atau GI. Seperti katanya, hidup bebas mandiri. Ada di tempat yang sama selama bertahun-tahun hidupmu, tidak akan membuatmu berkembang. Sugestinya, move out, di luar sana banyak yang bisa kamu dapatkan, lebih dari sekedar di Kabupaten ini. Sejalan dengan itu, seorang sahabatku yang sudah menikah dan melahirkan jagoan kecil yang sangat aku sayangi mengatakan, “You’re young, move out, nikmati hidupmu, sebelum menjadi sepertiku. Look at me, nggak bisa kemana-mana, nggak bisa ngapa-ngapain. Mumpung masih muda, carilah pekerjaan diluar sana, just....enjoy the life!” Dan... hell yeah! Itu sesuatu yang pantas dipertimbangkan. Aku juga tidak ingin menyesali masa mudaku dengan tidak melakukan hal-hal challenging. Yah...meskipun mungkin hanya untuk satu-dua tahun, karna apapun yang terjadi, aku akan kembali ke Kabupaten ini.

Dan seorang sahabat yang lain seakan mementalkan paradigma bekerja di kota orang diatas dengan kisahnya. Dekat dengan keluarga, tidak selalu berarti tidak mandiri. Tapi anggap saja dengan gaji yang sama, kita bisa menghemat biaya hidup dan akibatnya, sangat memungkinkan untuk kita memberi lebih untuk keluarga. Aku sangat setuju kali ini, karna bekerjaku nanti juga berarti karna aku ingin membantu keluargaku dari segi ekonomi yang semakin carut-marut ini. Uang yang aku gunakan untuk kos, makan, dan menghidupi gaya hedon akan jauh terpangkas dan hasilnya? I can save more money to be given! Lebih daripada alasan tersebut, aku sama sekali tidak bisa membayangkan saat aku berada jauh entah dikota mana, lalu tibatiba BAAMM.....something happened with my family. Lalu aku tidak bisa bergegas pulang dalam hitungan menit, akan menjadi sangat menyesalnya aku. Pernah, seorang sahabat yang bekerja di Bandung, selama berbulan-bulan menganggap dia akan pulang ke kota asalnya dan bertemu kakek yang amat dia kasihi. Dan betapa mencelos hatinya saat berbulan-bulan kemudian yang dia temui hanya nisannya. Orang tuanya memutuskan untuk tidak berkata apa-apa, karna Bandung itu jauh, memberi kabar buruk bagi sahabatku, ditakutkan akan memberi dampak buruk juga selama perjalanan.
Lalu aku membayangkan, seandainya waktu itu mereka memberi tahu sahabatku tentang kakeknya yang sedang nadza’, dan sahabatku memutuskan untuk pulang, untuk setidaknya melihat kakekknya kali terakhir. Aku rasa, tetap tidak akan bisa. Saat dia tiba disini, mungkin kakek tercintanya sudah berdandan dengan wangi kembang diatas tanah basah bernisan. Dan betapa menyesalnya dia. Seperti aku yang merasakan tidak enaknya menyesal karna kepergian nenekku, padahal kami hidup dibawah satu atap. Dan jelas, aku tidak ingin melewatkan masa-masa penting dalam keluargaku hanya karna aku mengejar kemandirian bekerja di kota sana. Kebersamaanku dengan keluargaku tidak akan aku tukar dengan hal-hal semacam itu.

Dan lagi-lagi here I am. Belum berani mengambil keputusan untuk dimana setahun ke depan akan berdomisili. Yang aku tau, Tuhan pasti sudah menyiapkan tempat terbaik untukku berkarya, ya kan? yang jelas, aku tidak akan menyi-nyiakan hidup indahku. Meskipun persepsi hidup indah bagi tiap orang berbeda-beda. Apapun itu, aku juga tidak ingin menukar masa mudaku dengan ketidak-berkembangan, atau menukar masa-masa berhargaku bersama keluargaku dengan keinginan berhedon di kota besar. Apapun, asalkan jiwaku bisa terpuaskan, dan orang-orang yang hidup disekelilingku bangga akan pencapaianku. That’s it. Semoga menjadi perenungan bagi semua, bagiku terutama.
God bless us all. :)

Februari, 17 2012
Pagi. Di pojok kasur.
Mencoba berfikir.

Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

0 Response to "Time to Work..(?)"

Post a Comment