Tuhan Kami

Aku sedang menekan tombol tombol keyboard, menyusunnya menjadi kata kata yang menjelma menjadi kalimat ketika dia, si wanita berambut panjang, menyampaikan sebuah pemilihan hidupnya. Sejenak hening. Tombol tombol itu kini diam. Aku masih berusaha mencerna segala kalimat yg terlontar darinya. Perasaanku...kosong. Aku tidak menemukan kata untuk mencegahnya, menahannya, atau bahkan melepaskannya. Aku hanya merasa...tidak merasa apa apa. Yang aku tau, dia saudara bagiku.

Apakah aku bersalah Tuhan?

Kini cara kami mengejaMu telah berbeda. Kami tak lagi mendongak pada nama yang sama. Tidak lagi memohon padaMu dengan cara yang sama.

Apa aku berdosa Tuhan?
Karna tidak menahannya utk bersama sama merasakan kasihMu, dengan sebutan Tuhan yang sama.

Lalu pria itu menghampiriku. Pria tinggi itu berkata dia akan bertemu Tuhannya sore nanti. Menyanyikan pujian pujian untukNya. Kami pun punya jalan menuju tempat pemujaan yang berbeda. Hanya saja, pria tinggi ini telah berkodrat dengan Tuhannya sejak dia lahir, sedangkan wanita berambut panjang itu, entahlah... Aku masih belum bisa mendefinisikan pemilihan Tuhan baginya untukku.

Aku kerap bertanya pada pria tinggi itu tentang jalan Tuhan baginya. Lalu aku mendapati pribadi yang penuh kasih pada pria itu yang aku yakini adalah ajaran Tuhannya. Tuhanku, Kau mengajariku juga kan? Kasih pria itu juga mengingatkanku pada penghargaannya juga sikap tolerir yang selalu dia beri padaku saat aku bereforia memuja Tuhan. Pria tinggi yang kukenal sejak kami masih belum berlabel dewasa ini, selalu bersamaku walau Tuhan kami adalah dua pribadi mengagumkan yang berbeda nama. Kau mengajariku juga kan Tuhan? Tentang penghargaan yg sama terhadap pemuja Tuhan yang tak sama.

Wanita berambut panjang itu pernah berkata padaku, “Apakah aku bersalah? Aku tidak menyembah berhala.. aku punya Tuhan...”

Aku lupa apa jawabku kala itu. Yang aku yakini, tidak akan ada sesuatu apapun yang bisa mengubah label hubungan kami.

Apa aku bersalah Tuhan?

Pemilihannya tentang untuk siapa pujian pujian itu ditujukan, mungkin menjadi satu satunya hal yg tidak berbanding lurus dengan nalar otakku. Kadang naluri penyangkalanku seakan ingin bangkit dari tidurnya. Begitu ingin menjamah ujung lidahku untuk mengilah setiap kalimatnya. Sampai dia berkata, “Hanya kamu yang mau menerimaku seperti ini, jika bukan kamu, mungkin orang lain tidak akan ingin mengenalku lagi..”

Tuhan...berdosakah aku?

Lalu aku teringat pria tinggi yang selalu membangunkanku untuk memasukkan beberapa suap nasi kedalam lambungku sebelum aku menahan lapar sepanjang hari. Aku teringat pria tinggi yang kukenal sejak hampir sepuluh tahun yang lalu, yang selalu menyunggingkan senyum didepan pintu rumahku ketika beras pulen dimasak berbentuk persegi tersuguhkan hangat di meja makanku.

Aku tidak ingin terkotak kotakkan dalam fanatisme Tuhan dan membelokkan keyakinan atas Tuhan untuk menghidupi duniaku. Seperti aku dan pria tinggi itu, atau aku dan wanita berambut panjang disana. Tuhan kami akan tetap memberi barcode pada label hubungan kami, barcode Tuhan yang hanya Dia yang Maha Tahu yang mengerti makna dibalik garis garis hitam tebal tipis pada barcodeNya.

Tuhan, bukankah Engkau mash akan mendengarkan setiap doaku untuk mereka? Ya kan?
Bukankah kami menyembahMu?
Kami memang tidak lagi mengejaMu dengan cara yang sama. Tapi tak apa kan Tuhan? Jalan kami berbeda sekarang, tapi aku tahu, Kau mencintai kami...dengan caraMu...

Dan Tuhan, biarkan penyangkalanku tertidur selamanya....


Diantara huruf ketiga dan kedua belas
C dan L
Memaknai pilihanmu
2.08.2011

Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

0 Response to "Tuhan Kami"

Post a Comment