Senja Di Wonokromo

Dia bilang namanya, Na. Singkat ya. Aku memanggilnya Mbak Na. Soal siapa dia, aku sama sekali tidak tahu. Apalagi soal dia dari mana. Dia menyebutkan nama kota yang katanya ada di ujung timur pulau Jawa. Hm...memangnya timur itu mana? Aku buta arah. Tapi ya sudahlah, toh aku juga tidak akan pernah bisa melihat kota itu. Jadi, Mbak Na ini asalnya dari kota yang sangat jauh. Kira-kira sih begitu. 

Dari suaranya, Mbak Na ini pasti jago menyanyi. Dia punya suara yang bagus menurutku. Meskipun tanpa microphone, aku masih bisa mendengar jelas dia berbicara diantara bisingnya suara Kereta Api yang seliweran nyaris tanpa jeda. Membuat nyanyianku wajib kuhentikan tiba-tiba karena PPKA-nya harus menyiarkan pemberitahuan pada orang-orang yang di stasiun soal kedatangan juga pemberangkatan Kereta Api. Seringnya sih saat aku tengah asyik-asyiknya melantunkan lagu-lagu yang kata orang adalah lagu dewasa. Bukan lagu anak-anak. Bukan lagu yang pantas dinyayikan oleh anak seumuranku. Ahh...biar saja, kalau bukan lagu-lagu itu yang kunyanyikan, lalu makan malamku nanti kubeli dengan uang yang mana?

Baru beberapa menit yang lalu, Mbak Na bertanya padaku, pertanyaan klasik, pertanyaan yang umum dialamatkan pada seorang anak sepertiku. Soal sekolah. Kubilang saja aku sudah lulus SD. Ya, aku baru lulus Sekolah Dasar beberapa bulan yang lalu. Perkara melanjutkan ke SMP atau tidak, rasanya aku sudah tidak begitu memperdulikannya lagi. Sebenarnya aku mau saja melanjutkan sekolah. Hanya saja, aku punya dua pertanyaan besar yang jawabannya kutuntut bisa memuaskan diriku. Pertama, uang dari mana? Kedua, sekolah yang mana? Itu saja. Dan jawabannya? Belum kudapatkan.

Aku tadi bilang, bahwa semasa SD, aku selalu masuk peringkat tiga besar. Kata Mbak Na berarti aku anak yang pintar. Hehe. Begitu ya? Dia bilang aku seharusnya bisa melanjutkan sekolah. Sayang, katanya. Ahh... Mbak Na ini, hidupku kan tidak semudah itu. Lagipula, aku suka menyanyi, sangat suka. Aku tidak akan bosan menyanyi di sini. Meskipun di sini berisik, bising, juga kadang ada gaduh suara orang-orang lalu lalang, tapi aku suka menyanyi di tempat ini. Dan karena aku tidak bisa lagi untuk sekedar belajar di sekolah, jadi lebih baik aku belajar menyanyi saja di sini. Kata Mbak Na kan suaraku bagus, ya?

Lagi-lagi suara menderu Kereta Api datang menginterupsi obrolan kami, tapi tetap, suara Mbak Na bisa aku dengar dengan jelas. Suara merdu lain yang mampir di telingaku setelah kedua Ibuku. Mbak Na sempat heran, bagaimana bisa aku punya dua Ibu. Kubilang saja mereka bukan Ibu kandungku. Ibu yang melahirkanku sudah meninggal dunia.

Ada hening sejenak setelah itu. Mungkin Mbak Na merasa kasihan ya? Lalu Mbak Na bertanya lagi soal Ayahku. Dia kira Ayah menikah lagi dengan salah satu Ibu angkatku ini. Bukan. Ayahku yang itu, yang tadi memainkan Orgen itu, dia juga bukan Ayah kandungku. Ayah kandungku juga sudah meninggal dunia. Aku sudah tidak punya orang tua kandung. Aku yakin, pasti Mbak Na ini sedang kasihan padaku lengkap dengan tatapan penuh iba juga, sama seperti orang-orang kebanyakan. Apalagi saat akhirnya Mbak Na sampai pada pertanyaan tentang di mana aku tinggal.

Sebenarnya ada sebuah rumah yang dulu kutinggali bersama kedua orang tua kandungku di Porong, tapi itu sudah lama sekali. Sekarang katanya rumah itu sudah tidak lagi ada. Tapi itu bukan karena kedua orang tuaku sudah tidak tinggal di sana lagi. Orang-orang bilang, rumahku jadi salah satu yang terendam lumpur Lapindo. Aku saja sampai sekarang tidak tahu lumpur Lapindo itu seperti apa. Yang aku tahu, lumpur itu adalah semacam air bercampur tanah kental kasar yang tergenang di jalan bekas hujan yang membuat kakiku kotor waktu tidak sengaja menginjaknya. Memangnya sebanyak apa sih lumpur Lapindo itu, sampai bisa menenggelamkan rumahku? Padahal itu satu-satunya monumen kenangan tentang keluargaku. Meskipun aku tidak bisa benar-benar melihatnya, setidaknya jika rumah itu masih ada, aku bisa berdiam di sana. Mencium wangi khas rumah tempatku menghabiskan masa balita, dan mendengarkan suara-suara Ayah dan Ibu dalam ingatanku.

Aku sebenarnya ingin sekali melihat raut wajah Mbak Na. Seperti apa ya orangnya. Apa dia cantik? Tinggi? Baju apa yang dia pakai? Apa dia sedang tersenyum sekarang? Mengapa tiba-tiba dia diam? Pasti dia lagi-lagi sedang merasa kasihan padaku. Begitukah? Seperti apa ya Mbak yang ada di dekatku ini? Tapi ya sudahlah, mengobrol dengannya saja sudah cukup menyenangkan buatku. Nyaris tidak pernah aku diajak mengobrol dengan siapapun yang sekedar mampir di Stasiun ini, jadi kunikmati saja obrolan kami.

Sempat kuajak dia bernyanyi tadi, tapi dia malah balik bertanya, kalau saja mungkin aku bisa menyanyikan lagu berbahasa Inggris. Sayangnya aku belum bisa, aku kesulitan menemukan cara menghafal lagu-lagu selain yang berbahasa Indonesia. Memang bagaimana caranya? Yang paling mungkin adalah dengan mendengarkan seseorang membacakan lirik lagunya pelan-pelan, lalu membiarkan otakku bekerja keras menghafalkan tiap kata-nya sedikit demi sedikit. Ahh...susah. Tapi barusan aku berjanji, suatu saat aku akan menghafal setidaknya satu lagu berbahasa Inggris dan akan kunyanyikan bersama Mbak Na, jika nanti dia kembali ke sini.

Mbak Na sempat bertanya lagi, pertanyaan yang kebanyakan orang tidak memberikannya padaku.

"Suatu saat nanti, kalau Mbak datang ke sini lagi, entah kapan. Apakah kamu masih akan mengingat Mbak? Mengingat suara Mbak?"

Kira-kira begitu pertanyaannya. Aku tersenyum, lebar. Sangat Lebar. Dengan keyakinan seribu persen aku mengangguk. Ya. Aku pasti akan mengingatnya, mengingat suaranya. Memangnya bagaimana lagi aku mengenali seseorang kalau bukan dari suaranya? Itu satu-satunya caraku menghafal nama orang-orang yang kukenal, aku kan tidak bisa mengingat mereka dari wajahnya. Kukatakan padanya, aku pasti akan mengenalinya. Dan kami pasti akan bertemu lagi, asalkan dia datang di waktu seperti sekarang ini, sebelum jam lima sore. Sebelum senja menjadi terlalu orange. Ya kan? Warna senja itu orange kan? Ya..seperti itulah mungkin. Pokoknya sebelum senja habis, aku masih dan akan selalu ada di sudut Stasiun Wonokromo ini, menyanyi.

Aku percaya suatu saat nanti kami akan kembali mengobrol seperti ini. Kupastikan aku tidak akan melupakan suara Mbak Na. Dan...Mbak Na, jangan lupa ya. Namaku, Wiwin.


 


Wonokromo, Februari,  2012
Someday, we'll sing together
Promise me


*PPKA : Pimpinan Pemberangkatan Kereta Api

Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

5 Response to "Senja Di Wonokromo"

  1. Unknown Says:

    sangat menyentuh dan kurasa sangat indah..
    Ketika Tuhan menciptakan begitu banyak perbedaan, kita masih bisa menyatukannya dengan cinta, ya.. hanya cinta dan kasih..
    Tuhan memberkati.

  2. andri K wahab Says:

    lain waktu "kita" akan menemui wiwin bersama-sama yh. lain waktu.

  3. vanda kemala Says:

    Baiklah...
    Katakanlah, Tuhan sedang menganyam hatiku untuk menjadi bentuk entah yang apa.
    Yang aku sadari, di pagiku tadi, aku mengeja kata demi kata terbentuk tulisan, mengisahkan hal yang sama dengan yang ini.
    Atas keterbatasan di diri yang (nyata) mampu meruah setiap untaian kasih, sayang dan cinta.

    Mereka, terkadang lebih memaknai tiap butiran cerita yang terendap. Percayalah...


    dear Na,
    ini tulisanmu yang "baru". aku belum terbiasa. tapi, teruskan ya... suatu saat, mari kita mengeja huruf demi huruf bersama :)

  4. Riesna Kurnia Says:

    @ encu : God bless too.. :)

    @ kekasih : ya, nanti. semoga kita sampai di hari itu.. :)

    @ vanda : woooow...kita punya ikatan batin ya berarti? hehe

  5. Unknown Says:

    Q jga ingin bertmu dngn 'MBAK NA' krna aq kngn ma dy,, :')

Post a Comment