Aku tau setiap manusia terlahir
dengan garis kodratnya masing-masing. Aku, kamu, dia, dan siapapun yg berdiam
di bumi ini tidak pernah meminta untuk jadi apa atau bagaimana saat terlahir.
Memilih lahir dari rahim siapa pun tidak bisa. Sungguh, ketidakbisaan ini yang
pada akhirnya menjadi pencetus seongok perbedaan. Ya, hanya seongok yang bagi
sebagian besar orang ini bukan sekedar pembeda, ini...tembok penghalang.
Sepertiku, seperti pria diujung
telepon sana. Kami terlahir dengan pemilihan jenis yang berbeda. Dia cukup
menjadi penanggung jawab hidup seorang wanita beserta keturunannya, lengkap
dengan kekuatan maskulin dan kewajiban menafkahi jiwa-jiwa yang mengabdi pada
hidupnya. Sedangkan aku, Tuhan menyiapkanku untuk meneruskan DNA seorang pria
yang kelak berlabel “suami”ku, menghidupi tiap generasinya dg jiwaku. Dan
sebuah ketidaksengajaan mempertemukan kami diikuti dengan onggokan pembedanya,
menautkan segala perasaan mengganggu yang kemudian kusebut cinta.
Tidak butuh berlama-lama bermain
waktu untuk mencintai pria macam dia. Singkat saja. Dan tiba-tiba, Booom...!!
Rindu yang tertuju untuknya meledak. Keinginanku untuk memonopoli tiap detik
milikknya juga tak kalah mengeluarkan dentuman dahsyat. Benar-benar, It’s called Love. Sesuatu yang tidak
pernah aku andaikan bersamanya.
Entah kejujuran atau
kebalikannya, dia bersaksi dihadapanku, dia mencintaiku. Ah...tak perlu lagi ku
papar betapa aku juga teramat jatuh cinta pada sosoknya. Pada beragam
kebaikannya, kesabarannya, ketulusannya juga entah apa lagi yang Tuhan titipkan
untuknya untuk menjadi sosok yang aku cintai. Aku merasa kami sama. Sama-sama
mencinta. Meskipun aku tau, kesamaan kami tidak mampu mengalahkan segala
pembeda yang telah menempel lebih lekat dari sekadar ari-ari kami sejak dalam
kandungan. Kami berbeda, bahkan sejak sebelum dilahirkan.
Belakangan aku merasa keinginan
untuk memonopolinya adalah sesuatu yang telah menjadikanku seorang pengikut
dari paham egoisme. Kami tidak dilahirkan berbeda untuk menjadi sama. Kesamaan
kami hanya berbatas pada cinta yang memborgol kami, tanpa kunci untuk membuka
borgolnya. Locked. Selebihnya, kami
berbeda. Kami bahkan tidak bisa mengeja nama Tuhan bersama-sama. Bulan dan tahun kami pun punya nama yang
berbeda. Tidak akan pernah berhasil baginya untuk membawaku berada di jalannya,
begitu pula aku yang mungkin hingga bumi tidak lagi berotasipun tidak akan
membuatnya bergeming dari jalan yang disiapkan Tuhan miliknya. Benar-benar aku
telah menjadi pengikut paham egoisme tingkat akut karna sempat berkeinginan
memonopolinya. Kami.., berbeda.
Hanya beberapa menit yang lalu,
secara klasik dia menanyakan keberadaan juga keadaanku setelah berhari hari
menutup akses, menutup mata atas kecanggihan teknologi komunikasi. Antara
senang, lega, dan...sedikit menyesakkan. Sesak karna aku yang menghentikan
secara tiba-tiba perputaran cinta kami. Jangan bayangkan kata “tiba-tiba”
terkonotasi dengan “sepihak”, aku yakin dia punya pemikiran sepaham tentang
penghentian putaran cinta ini. Hanya saja, mungkin memang harus ada yg
mendahului penghentian ini. Tapi...mengapa harus aku? Mengapa bukan dia? Apakah
memang harus aku? Dan...mengapa opsi terbaik bagi hubungan kami harus
mendaratkan keputusannya di tanganku? Aku benci menjadi seperti ini. Benci
menyampaikan pemilihan ini padanya. Benci harus merasakan sesak ini lebih dulu
daripadanya.
Aku memang membulatkan niat untuk
menhaturkan pemilihan ini. Ini yang terbaik yang akan terjadi. Hasilnya? Jangan
tanya. Kecanggihan teknologi macam apapun tidak sanggup menembus eksistensinya.
No messages, no call, just...nothing.
Aku pikir kami akan menghadapinya dengan (jauh) berbesar hati?
Dan beberapa menit yang lalu, aku
mendapati pesan singkat itu (lagi). Sekeras mungkin aku berusaha mewajarkan
jawabanku. Be normal! Tapi interaksi
hati ini seakan tidak kunjung mendapat ujungnya. Terus bergulir. Beberapa menit
berikutnya aku mendapati deretan huruf darinya yang seakan bicara padaku, “Aku
pun terluka...”
Disini semakin sesak.
Apa sakit ini adalah perkara yang
aku ciptakan? Yang aku munculkan perihnya? Apa kami masih punya kesamaan? Rasa
sakit yang sama mungkin. Hhh...rasa sakit itu mungkin serupa, tapi tetap saja
tidak merobohkan pembeda diantara kami. Tidak akan pernah.
Entah apa yang menuntun kami
untuk kembali bertemu. Aku rasa arus cinta kami masih terkoneksikan dengan amat
baik, menimbulkan rindu luar biasa hebat dan menjadikan wajib bagi kami untuk setidaknya
saling bergenggam tangan. Ada pucat di wajahnya. Entah karna kesakitan yang
(aku rasa) kubuat, atau memang kesehatannya semacam mengalami degredasi?
Entahlah...aku hanya begitu merasakan tertusuk menyakitkan di ulu hati
melihatnya sepucat ini.
“I need you, still...”
Tidak taukah dia betapa aku juga
membutuhkannya? Bahwa aku juga nyaris menjadikan dia candu. Semacam rokok yang
harus berpasangkan kopi. Aku juga membutuhkannya lebih dari yang bisa dia
perkirakan. Dia meraih jemariku, diamnya berkata seribu bahasa yang hanya
dimengerti oleh hatiku. Seketika itu pun, aku tau, dia telah melepaskan.
Melepaskan perasaan menyiksanya. Melepaskan rasa sakitnya. Melepaskan
ketidakrelaannya.
Melepaskanku.
Tuhan memang tidak membaptiskan
firman yang sama pada kami. Tidak pula menciptakan persamaan kidung untuk
pujianNya. Tapi kasih kami setara langit. Seandainya pembeda ini bisa kami
lebur, lalu tempa menjadi ongokan baru, tentu sudah selesai kami lakukan sejak
berbulan bulan yang lalu. Tapi soal peleburan itu, Tuhan tidak menguasakannya
pada kami. Dan dia, sosok kucinta ini, telah melepaskan hatinya dari pembeda
diantara kami.
Dia masih menggenggam tanganku,
mengatakan betapa dia juga ingin berucap jutaan maaf. Aku juga. Rasanya tak
habis seluruh kata maaf didunia ini kulontarkan. Dan dia tersenyum. Semain erat
menggenggam, mengamini segala yang kuputuskan untuk terjadi. Dan aku, aku
menginjinkannya melepasku. Juga mengijinkan diriku melepasnya, demi Tuhanku.
Tuhan kami.
Gurat pucatnya semakin sirna,
terganti oleh senyum dengan lesung pipinya yang selalu menawan. Aku tau kami
akan selalu bersama, dengan takaran yang berbeda dari kemarin. Dengan bentuk
yang berbeda. Entah dia akan mengetahuinya atau tidak, tapi aku akan tetap
membisikkan doaku untukmu. Pada Tuhanku. Dengan Caraku.
Memahami kisahmu (lagi)
28.03.2012
Semoga kali ini kamu memaknainya dengan rasa yang lebih
Kamu sudah semakin pintar menulis kan sekarang :)
Free Template Blogger
collection template
Hot Deals
SEO