Paranoid

Jadi ini rencananya, besok lusa kita akan bertemu. Pertemuan pertama. Tentu saja setelah melewati empat purnama, puluhan malam bercerita segala rupa, juga ratusan percakapan lewat udara. Bisa dikatakan ini rencana paling aku tunggu sejak kali pertama aku membaca sajakmu. Ya, sajakmu, puisimu atau apalah namanya, semua yang kau tulis yang membuatku jatuh hati pertama kali. Bukan, bukan pada sosokmu. Aku jatuh hati pada setiap kisah yang kau sisipkan di bait-bait puisimu. Pada pilu yang kau selipkan di tiap tulisan yang kau tipu dengan label fiksi. Aku jatuh hati pada kata-kata yang kau beri nyawa.

Tak butuh waktu lama bagiku untuk akhirnya menemukanmu di dunia selain puisi tertulis. Kita kemudian berbagi cerita, berbagi lagu, juga tertawa bersama. Aku mendengar suara terjagamu bahkan hingga kau jatuh terlelap. Kau mendengarku menangis sekaligus menenangkanku. Kita berbagi puisi, bertukar judul buku, film, makanan kesukaanku, hingga club sepakbola favoritmu. Dan aku menikmati setiap momennya. Segalanya mudah bagiku. Begitu mudahnya hingga aku jatuh hati untuk yang kedua kalinya. Sayangnya, kali ini pada sosokmu, yang belum pernah kudapati nyata hadir di depan mataku.

Hanya saja pagi ini aku merasa sial. Kau baru saja memberitahuku tentang klasifikasi wanita pujaanmu. Dan coba tebak, dari sepuluh hal yang kau sebutkan, aku nyaris tidak termasuk dalam klasifikasi manapun. Kau hanya bilang bahwa suaraku cantik ketika bernyanyi, puisi-puisiku indah saat kau baca, dan kegemaranku memasak hanya kau jadikan poin plus. Selebihnya, tinggi badan, bentuk tubuh, warna kulit hingga rambut pun nyaris tidak berbanding lurus dengan kualifikasi wanita yang pantas kau puja.

Besok lusa kita akan bertemu. Pertemuan pertama. Dan kau baru mengatakan segala tentang wanita impianmu pagi ini. Percayakah kau jika kukatakan yang melekat padaku justru hal-hal yang kau benci? Kau benci wanita berambut pendek. Kau benci wanita dengan jins belel dan sepatu keds. Kau benci wanita ber-eyeliner, seperti penyihir katamu. Hey... wanita itu aku. Dan aku benci mendapati diriku mulai jatuh hati padamu, sedangkan kau (kupikir) akan membenciku dibanding balik jatuh hati padaku.

Lalu, bagaimana jika benar kau akan membenciku? Bagaimana jika puisi indahku tidak mampu mengalahkan kebencianmu pada gaya berpakaianku? Bagaimana jika nyanyian merduku tak mampu meredam ketidaksukaanmu pada rambutku, atau penampilanku? Atau yang terparah yang mungkin terjadi, kau akan memilih untuk tidak mengenalku lagi. Tidak. Aku tidak akan membiarkan kau menaruh rasa tidak suka padaku meski hanya seujung kuku.

Jadi di sinilah aku sore ini. Memaksa diriku sendiri melakukan hal yang kupikir tidak akan pernah kulakukan. Salon. Beberapa jam kedepan aku akan keluar dari tempat ini dengan rambut panjang berwarna kecoklatan. Satu dari sepuluh hal yang kau suka. Di samping kursi hitam yang kududuki ada dua buah paper bag hasil berbelanjaku barusan. Satu kantung berisi mini dress dan bolero, sedang kantung lainnya berisi high heels, wedges tepatnya. Anggap saja, kau tidak perlu melihat jins belel dan sepatu kedsku yang warnanya mulai memudar itu.

*** *** ***

Mini dress berwarna fuschia pucat beraksen bunga-bunga kecil diujungnya dan bolero ungu anggur kini melekat di tubuhku. Kedua kakiku juga telah kujejalkan pada wedges warna senada yang membuat tubuhku sepuluh senti lebih tinggi. Kali ini kupastikan rambut kecoklatanku tergerai sempurna. Memeriksa setiap sambungannya, aku tidak ingin ada satu ikatan pun yang lepas saat bertemu denganmu nanti. Mataku terlihat sangat oriental tanpa eyeliner, satu hal yang sebenarnya tidak aku suka. Tapi aku masih punya satu sentuhan akhir, softlense berwarna coklat gelap. Seperti yang selalu kau katakan tentang betapa cantiknya mata seorang wanita yang berwarna coklat. Kini aku memilikinya. Hampir semuanya.

Kau baru saja meneleponku dari parkiran luar. Tidak sampai sepuluh menit kedepan kita akan saling menemukan. Sejujurnya, aku benci menjadi seperti ini. Benci melihat diriku yang terpantul di kaca gelap sebuah counter fashion di depanku. Tapi aku akan lebih benci jika kau sampai tidak jatuh hati padaku. Aku tidak peduli seandainya kau nanti muncul dengan penampilan yang tidak memenuhi kualifikasiku. Aku tidak peduli jika nanti aku memutuskan untuk tidak lagi jatuh hati padamu. Aku bahkan sangat tidak peduli seandainya setelah pertemuan ini aku yang akan menaruh rasa tidak suka padamu. Tapi kau? Kau harus jatuh hati padaku. Kau harus menyukaiku lebih dari kemarin.

Sekali lagi kupastikan rambutku rapi. Menatanya agar tidak ada satu ikatan pun yang terlihat dari luar. Aku tak ingin kau tahu bahwa ini ekstensi.


I make the most of all this stress
I try to live without regrets
But I'm about to break a sweat
I'm freaking out

PARANOID - JONAS BROTHER

Banyuwangi
Dalam imajinasi

Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

0 Response to "Paranoid"

Post a Comment